Oleh : Mohammad Effendy – Forum Ambin Demokrasi
LANGKAR.ID, BANJARMASIN – nBulan Desember dan Januari dikenal sebagai musim penghujan dengan curah air yang tinggi, sehingga sungai kita yang meski jumlahnya banyak namun tidak mampu menampungnya. Terlebih lagi jika hujan lebat tersebut bersamaan waktunya dengan air sungai yang lagi “pasang”, maka dapat dipastikan terjadi banjir yang menggenangi jalanan di berbagai sudut kota.
Semua aktivitas rutin masyarakat terutama di waktu pagi hari jelas sangat terganggu, nampak jalanan dipenuhi dengan berbagai kenderaan yang berjalan pelan dan sangat hati-hati. Di ruas jalan tertentu terutama di lingkungan komplek perumahan yang kebetulan berada di wilayah yang rendah, maka ketinggian air mencapai lutut orang dewasa.
Akibatnya, beberapa kenderaan bermotor yang memaksakan diri melewati area tersebut terlihat mesinnya mendadak mati, sehingga terpaksa harus didorong oleh pemiliknya.
Masyarakat yang sangat memahami kondisi alam (Banjarmasin) meski kesal dan menggerutu dalam hati, namun terpaksa menerima dengan lapang dada. Beberapa kantor pemerintah dan juga sekolah memberikan toleransi bagi pegawai dan anak-anak siswa yang agak terlambat masuk, karena mengetahui penyebab keterlambatan tersebut.
Kondisi banjir yang melanda beberapa sudut kota Banjarmasin jika masuk musim penghujan adalah peristiwa rutinitas tahunan. Pemerintah dan juga semua warga kota mengetahui bahwa penyebabnya adalah karena curah hujan yang tinggi berbarengan dengan air sungai yang meluap karena lagi pasang. Pertanyaan yang muncul adalah; apakah kita harus membiarkan itu terjadi terus menerus tanpa ada usaha serius untuk mengatasi dan mengendalikannya ?.
Di era kemajuan ilmu pengetahuan dan makin canggihnya tehnologi modern, tentu saja sangat memungkinkan untuk melakukan kajian agar dapat mengendalikan kondisi alam kita yang memang bersifat spesifik. Pemerintah Kota tidak boleh menyerah dan bersikap pasrah dengan keadaan ini serta berlindung kepada “takdir alam”. Sikap pasrah seperti menunjukkan bahwa kita kembali ke zaman “purba” di mana masyarakatnya tunduk sepenuhnya kepada kehendak alam.
Jika kita mencoba merenung secara jernih, sebenarnya Tuhan telah mendesain kondisi kota kita dengan sangat sempurna. Dianugerahkannya wilayah kota kita dengan sungai-sungai alam, sehingga kita dengan bangga menyebut sebagai “kota seribu sungai”.
Aliran sungai itulah yang menjadi jalan air untuk menuju muara dan terus ke laut. Akan tetapi sangat disayangkan para Pemimpin kita tidak pernah merawat anugerah Tuhan tersebut, bahkan satu persatu sungai dirusak dan dihilangkan fungsinya.
Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kota hampir tidak ada yang menyentuh pelestarian sungai, bahkan Perda tentang sungai yang dibuat setelah medapat desakan kuat dari masyarakat dan pencinta lingkungan tidak pernah dilakukan evaluasi dan pengawasan yang semestinya.
Perda sungai disimpan rapi hanya sebagai dokumen tertulis dan segera akan dikeluarkan dengan perasaan bangga jika ada yang mempertanyakan. Pemerintah Kota tidak pernah melakukan kajian serius dengan melibatkan para pakar bagaimana seharusnya merawat sungai sehingga dapat berfungsi optimal sesuai dengan kondisi spesifik Banjarmasin.
Kita tidak memerlukan pembuatan kanal sebagaimana negeri Belanda yang sama-sama berada di bawah permukaan laut, karena Tuhan sudah memberi “kanal alam” yang begitu cantik – memanjang dan kemudian melengkung agar dapat bertemu dengan muara yang juga tidak kalah indahnya.
Sekarang, setelah alam “marah” dan menumpahkan kemarahannya dengan luapan air sehingga menggenangi jalan yang kita buat sendiri dengan biaya yang mahal – karena jalan air yang sudah disediakan Tuhan dirusak oleh tangan kita sendiri, maka dengan enteng dan wajah tanpa salah pejabat kita menyebut sebagai “takdir alam”.
Jadi Akankah keadaan seperti ini akan terus berlanjut, dan pemimpin baru kita hasil Pilkada juga mengelak dengan alasan yang sama sebagai “takdir alam” ? Jika ini yang terjadi, maka kita semua benar-benar menjadi pencinta barang antik karena menyukai produk peradaban kuno. Atau jangan-jangan kita hanya merasa telah berkembang maju, tapi sebenarnya tidak beranjak dari budaya lama – menerima takdir alam dengan pikiran yang membeku.
(007)