LANGKAR.ID,Banjarmasin – Pasca rapat finalisasi pada pekan lalu, DPRD Kalimantan Selatan optimis pengesahan Raperda tentang Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Provinsi kepada Bank Kalsel dapat terlaksana pada bulan depan.
Apalagi dokumen tersebut sudah masuk ke Kementerian Dalam Negeri RI untuk mendapatkan fasilitasi sebelum dapat disahkan.
“Kita harapkan raperda ini dapat segera disahkan sebelum 27 Juli 2022,” tuturnya kepada awak media.
Tanggal tersebut menurutnya sudah batas akhir untuk pengesahan dan jadi penentu apakah penyertaan modal dapat masuk dalam pembahasan Kebijakan Umum Perubahan Anggaran – Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUPA-PPAS) Tahun 2022.
Ia mengakui tidak ada kendala selama proses finalisasi berlangsung, di mana pihaknya menambahkan satu pasal, yakni pasal 27 yang mengatur tentang modal-modal yang dimiliki pemerintah provinsi dan kabupaten/kota pada Bank Kalsel.
Sementara itu, sikap optimis juga diungkapkan Direktur Utama Bank Kalsel, Hanawijaya, bahwa pada akhir tahun 2024 mendatang, Modal Inti Minimum (MIM) Bank Kalsel akan mencapai Rp 3 triliun seperti yang diwajibkan oleh OJK RI jika tidak ingin turun kelas menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
“Kalau MIM terpenuhi sebesar Rp3 triliun, maka Bank Kalsel tetap berstatus sebagai bank umum dan dapat mengelola keuangan daerah,” jelasnya.
Dengan penyelesaian raperda tersebut, maka Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dapat mengembalikan dividen yang diterima sebagai penyertaan modal dengan total Rp291 miliar. Terdiri dari Rp155 miliar uang tunai atau dividen dan dalam bentuk aset senilai Rp135 miliar.
Pihak Bank Kalsel menurutnya akan mendampingi eksekutif dan legislatif dalam proses fasilitasi di Kementerian Dalam Negeri RI, sehingga prosesnya dapat terus dikawal dan pengesahan segera direalisasikan sesuai jadwal.
Mengingat, jika sudah disahkan dalam Rapat Paripurna DPRD Kalimantan Selatan, maka tindak lanjutnya ke pemerintah kabupaten/kota yang jadi pemegang saham Bank Kalsel untuk merealisasikan tambahan penyertaan modal.
Hanawijaya juga mengakui jika keterlambatan proses pembahasan terjadi karena faktor lain, yaitu perhitungan aset yang dilakukan oleh tim penilai independen.
Selain itu juga karena ada aset milik pemerintah provinsi yang masuk belakangan sehingga berpengaruh pada status kepemilikan yang harus diubah terlebih dahulu. (L212)