LANGKAR.ID – Tragedi Stadion Kanjuruhan Malang yang menelan ratusan korban jiwa supporter sepakbola masih terus menjadi pemberitaan media massa. Tragedi ini menjadi salah satu bencana sepakbola terburuk di dunia karena besarnya jumlah korban jiwa yang ditimbulkannya. Data terakhir angka korban konon sudah mencapai angka 132 orang yang meninggal dunia.
Tak pelak peristiwa kelam tersebut telah menjadi sorotan masyarakat tidak saja di Indonesia tetapi juga di mancanegara.Sejumlah media asing ternama juga memberitakan kejadian yang berlangsung usai pertandingan Arema FC dan Persebaya tersebut, salah satunya Al Jazeera.
Dalam sebuah video yang beredar luas di sosial media, nampak jurnalis Al Jazeera, Jessica Washington terjun langsung ke Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur untuk melaporkan hasil reportasenya. Dalam laporan langsungnya kepada jaringan televisi Al Jazeera, dia menyoroti kondisi stadion yang rusak parah setelah tragedi yang terjadi disana.
Dalam laporannya Jessica menunjukkan ventilasi di stadion tersebut yang dijebol para penonton sebagai upaya menyelamatkan diri setelah polisi menembakkan gas air mata ke tengah lapangan dan ke arah tribun yang sedang di penuhi massa.
“Pintu besi di sini Anda bisa lihat ringsek karena orang-orang berlari menyelamatkan diri,” ujarnya seraya menunjukkan pintu besi berwarna biru tua.”Masyarakat sangat syok dengan apa yang terjadi,” ujarnya.
Di dekat pintu besi berwarna biru tua itu, dia juga melihat banyak bertebaran sejumlah barang milik penonton seperti dompet dan ratusan sepatu yang berserakan ketika mereka berusaha menyelamatkan diri keluar dari stadion yang diselimuti gas air mata.
Dia juga menunjukkan tulisan yang bertebaran di tembok stadion, diantaranya berbunyi : “Polisi jahat, saudaraku kau bunuh”.”Orang-orang menunggu jawaban, menuntut pertanggungjawaban,” jelasnya. Ada juga tertulis Kode 1312 “No Justice No Peace A.C.A.B”, “1.3.1.2“, “Polisi Jahat Kau Bunuh Saudaraku, 1.3.1.2 ,” hingga “Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan” yang bersandingan dengan kode 1312 dan ACAB di tembok Stadion Kanjuruhan, Malang yang menjadi saksi bisu meninggalnya ratusan jiwa.
Menyaksikan adanya Kode 1312 yang bersandingan dengan tulisan A.C.A.B, tentunya membuat orang bertanya tanya: kode apakah itu sebenarnya ?, Apakah kode 1312 ini sudah sepantasnya disematkan kepada jajaran korps bhayangkara ?, Apa yang seyogyanya dilakukan oleh jajaran korps bhayangkara manakala mendapat kode keras 1312 yang dialamatkan kepadanya ?
Makna Kode 1312-ACAB
Munculnya coretan kode 1312 atau ACAB yang bertebaran di tembok Stadion Kanjuruhan, Malang sebenarnya mengandung makna protes masyarakat kepada jajaran korps bhayangkara . Masyarakat marah atas tindakan polisi dalam menangani kericuhan di Stadion Kanjuruhan karena polisi menembakkan gas air mata.
Arti kode 1312 adalah pertukaran kode ACAB dalam bentuk angka. Di mana huruf A adalah urutan pertama digunakan angka 1, huruf C sebagai urutan ke-3, dan huruf B posisi ke-2. Sehingga jika diurutkan maka menjadi kode 1312 atau ACAB yang mempunyai makna sama.
Sementara kode ACAB adalah sebuah akronim dari kalimat “All Cops Are B*st*rds” artinya “Semua Polisi Adalah B*j*ng*n”, seperti dilansir news.com.au. Kode ACAB artinya makian atau umpatan yang ditujukan kepada polisi sebagai bentuk protes yang dilayangkan masyarakat atas tindakan polisi di tragedi Kanjuruhan yang menyebabkan banyak korban jiwa.Istilah ACAB atau kode 1312 artinya bahwa penyalahgunaan wewenang tidak dapat diterima.
Kalau ditelusuri jejak sejarahnya, kode ACAB atau 1312 muncul di Inggris pada paruh pertama abad ke-20, seperti dilansir GQ Magazine. Secara apokrif, “All Coppers are B*st*rds” pertama kali disingkat menjadi ACAB oleh pekerja yang mogok kerja pada 1940-an.
James Poulter di Vice menemukan beberapa rekaman video dari tahun 1958 tentang beberapa pemuda yang memasang frasa ACAB di jalan. Namun, istilah ACAB benar-benar mengambil makna modernnya pada tahun 1970 ketika Daily Mirror menggunakan frasa ACAB sebagai tajuk utama.
Selanjutnya, istilah ACAB mulai dibawa ke seluruh dunia melalui musik punk yang menjadi semboyan bagi gerakan anarkis dan anti-otoriter dari New York ke Indonesia. Terlepas dari itu, hingga kini kode ACAB atau 1312 terus menjadi tren bentuk protes terhadap kebrutalan polisi dalam menjalankan tugasnya
Selama tahun 1980-an, ACAB menjadi simbol anti- kemapanan , terutama dalam subkultur punk dan skinhead. Istilah Ini dipopulerkan khususnya oleh lagu 1982 “ACAB” oleh Oi! band The 4-Skins. Di tahun-tahun berikutnya, ACAB berubah menjadi slogan populer di kalangan hooligan dan ultras sepak bola Eropa, dan di antara gerakan anarkis dan anti-otoriter di seluruh dunia.
Ketika polisi makin ketat mengamankan pertandingan sepakbola, suporter Inggris ikut mengadopsi istilah ACAB. Penggunanya rata-rata hooligan yang juga berafiliasi dengan gerakan skinhead, populer pada dasawarsa 70’an.Suporter di negara lain turut mengadopsi kebencian terhadap polisi tersebut, seperti dicatat penulis sepakbola James Montague di buku 1312 (kode numerik untuk ACAB).
Suporter Persija Jakarta yang tewas karena kekerasan polisi pada 2016 yang lalu pernah menuliskan catatan “ACAB” di buku hariannya. Meski begitu, dari temuan Montague, di internal Jakmania sendiri ada ketidaksetujuan mempopulerkan ACAB karena dianggap “terlalu Eropa.”
Setelah pembunuhan George Floyd pada bulan Mei tahun 2020 oleh petugas polisi Derek Chauvin , penggunaan istilah ACAB menjadi lebih sering digunakan oleh mereka yang menentang polisi. Ketika protes massal dilakukan sebagai tanggapan atas kematian Floyd dan diskusi tentang kekerasan polisi yang bermotif rasial menyebar ke seluruh Amerika Serikat, ACAB lebih sering dirujuk di media sosial dan produk-produk dengan akronim menjadi tersedia.
Kebanyakan kritik terhadap istilah ACAB atau 1312, berpendapat bahwa sifat linguistik dari istilah ini secara inheren menyerang petugas polisi sebagai individu dan percaya bahwa ada istilah lain yang bisa digunakan untuk mendukung reformasi kepolisian, karena tidak semua polisi buruk perilakunya. Ini seperti kata pepatah nila setitik menjadi rusak susu sebelanga. Namun ada juga yang berpendapat bahwa istilah ACAB atau 1312 memang ditujukan kepada polisi secara kelembagaan dan bukan pada individu atau oknumnya.
Sudah Sepantasnyakah ?
Tulisan 1312 yang bertebaran di dinding stadion Kanjuruhan pasca terjadinya peristiwa kematian massal ratusan supporter sepakbola, bisa jadi merupakan akumulasi dari serangkaian kekecewaan masyarakat terhadap kinerja korps bhayangkara. Apalagi sebelumnya jagad pemberitaan di tanah air disesaki dengan berita yang berkaitan dengan kasus Sambo yang telah membunuh ajudannya.
Pemberitaan yang sangat massif terkait dengan kasus Sambo tak pelak telah membuat institusi kepolisian terjun bebas citranya apalagi dengan proses penegakan hukumnya yang terkesan berbelit belit dan belum begitu jelas seperti apa ujungnya. Hal ini telah mendegradasi kepercayaan masyarakat terahadap jajaran korps bhayangkara.
Wajah Kepolisian Republik Indonesia semakin “menggenaskan” menyusul terjadinya peristiwa stadion Kanjuruhan yang menelan banyak korban jiwa. Atas terjadinya peristiwa ini, Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil telah memaparkan 12 Kejahatan Sistematis terkait peristiwa tersebut sebagaimana diberitakan oleh law-justice.co tanggal 10/10/2022.
Anggota Tim Pencari Fakta Masyarakat Sipil, Jauhar, melalui keterangan tertulis menyebut peristiwa kekerasan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan merupakan dugaan kejahatan yang terjadi secara sistematis yang tidak hanya melibatkan pelaku lapangan saja tetapi juga diatasnya.
Selama investigasi, pihaknya bertemu dengan sejumlah saksi, korban dan keluarga korban dengan kondisi ada yang mengalami gegar otak, luka memar bagian muka dan tubuhnya, ruam merah pada muka, hingga trauma yang berat akibat peristiwa kekerasan yang dialaminya. Inilah 12 temuan Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil terkait tragedi Kanjuruhan:
1. Pada saat pertengahan babak kedua, terdapat mobilisasi sejumlah pasukan yang membawa gas air mata, padahal diketahui tidak ada ancaman atau potensi gangguan keamanan saat itu.
2. Ketika pertandingan antara Arema FC dan Persebaya selesai, diketahui terdapat sejumlah suporter yang masuk ke dalam lapangan.Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang ada, hal itu terjadi karena para suporter hanya ingin memberikan dorongan motivasi dan memberikan dukungan moril kepada seluruh pemain.Namun, hal tersebut direspons secara berlebihan dengan mengerahkan aparat keamanan dan kemudian terjadi tindak kekerasan.
3. Sebelum tindakan penembakan gas air mata, tidak ada upaya dari aparat untuk menggunakan kekuatan lain, seperti kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, perintah lisan atau suara peringatan hingga kendali tangan kosong lunak.Padahal berdasarkan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan, polisi harus melalui tahap-tahap tertentu sebelum mengambil tahap penembakan gas air mata.
4. Tindak kekerasan yang dialami para suporter, tidak hanya dilakukan oleh anggota Polri, tetapi juga dilakukan oleh prajurit TNI dengan berbagai bentuk, seperti menyeret, memukul, dan menendang.
5. Berdasarkan kesaksian para suporter, penembakan gas air mata tidak hanya ditujukan ke bagian lapangan, tetapi juga mengarah ke bagian tribun sisi selatan, timur, dan utara sehingga hal tersebut menimbulkan kepanikan yang luar biasa bagi suporter yang berada di tribun.
6. Bahwa saat ingin hendak keluar dengan kondisi akses evakuasi yang sempit, terjadi penumpukan pada sejumlah pintu yang terkunci.Bahwa, di dalam ruangan yang sangat terbatas tersebut, diperparah dengan masifnya penembakan gas air mata oleh aparat kepolisian dan hal ini berdampak sangat fatal yang mengakibatkan para korban sulit bernafas hingga menimbulkan korban jiwa.
7. Setelah mengalami rentetan peristiwa kekerasan, para suporter yang keluar dengan kondisi berdesak-desakan, minim mengalami pertolongan dengan segera dari pihak aparat kepolisian, para korban dengan caranya sendiri berusaha untuk keluar.
8. Peristiwa kekerasan dan penderitaan tidak hanya terjadi di dalam stadion, tetapi juga terjadi di luar stadion. Diketahui aparat kepolisian juga ikut melakukan penembakan gas air mata kepada para suporter yang berada di luar stadion.
9. Pascaperistiwa, diketahui ada pihak-pihak tertentu yang melakukan tindakan intimidasi, baik melalui sarana komunikasi maupun secara langsung. Pihaknya menduga hal ini dilakukan agar menimbulkan suatu ketakutan kepada para saksi dan korban agar tidak memberikan suatu kesaksian.
10. Hingga saat ini tidak ada informasi yang detail dari pemerintah berkaitan dengan data korban jiwa dan luka yang dapat diakses oleh publik, termasuk informasi perkembangan penanganan kasus yang saat ini ditangani oleh pihak kepolisian.
11. Saat tim sedang melakukan pendalaman fakta, pihaknya sudah berkomunikasi dengan Komnas HAM dan LPSK, lalu menyampaikan sejumlah laporan.Tetapi tim belum melihat kerja riil dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta untuk menemui sejumlah saksi dan korban.
12. Terkait dengan adanya narasi temuan minuman alkohol dan penggunaan terminologi kerusuhan merupakan penyampaian informasi yang menyesatkan.
Dalam kaitan dengan peristiwa tersebut Tim juga menilai keliru apabila menggunakan terminologi kerusuhan, yang terjadi justru ialah serangan atau pembunuhan secara sistematis terhadap para warga sipil supporter sepakbola.
Bahkan berdasakan keterangan yang diberikan oleh Menkopolhukam Mahfudz MD, dengan mengacu pada rekaman 32 CCTC di stadion, proses kematian para supporter itu jauh lebih mengerikan dari yang beredar di televisi atau sosial media.Yang mati dan cacat dipastikan karena adanya semprotan gas air mata yang terjadi disana.
Membaca laporan yang disampaikan oleh Tim Pencari Fakta Masyarakat Sipil sebagaimana dikemukakan diatas, kiranya cukup mengerikan dan membuat prihatin kita semua. Pertandingan sepakbola yang sarat dengan nuansa hiburan dan kegembiraan itu harus berakhir dengan jatuhnya ratusan korban jiwa.
Alhasil munculnya kode keras 1312 yang mengandung makna “Semua Polisi Adalah B*j*ng*n”, merupakan bentuk kekecewaan sekaligus frustasi dari masyarakat yang ditujukan korps bhayangkara dalam bentuk ungkapan kata kata. Apakah ungkapan seperti ini memang sudah sepantasnya ?. Kalau dilihat dari mana kosa katanya tentunya tidak pas kalau disebut “Semua Polisi Adalah B*j*ng*n”, karena kenyataanya masih banyak polisi yang baik perilakunya. Tetapi rasanya kurang pas juga kalau disebut peristiwa Kanjuruhan itu sebagai perbuatan “oknum” semata.
Dalam konteks pemberitaan media, sebagaimana dilansir dari Majalah Tempo, kata oknum biasanya digunakan untuk memisahkan anggota suatu institusi atau kelompok tertentu dari institusi atau kelompoknya. Biasanya, pemisahan tersebut dilakukan ketika anggota suatu institusi atau kelompok tersebut melakukan suatu hal yang tercela.
Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam artikelnya di Majalah Tempo edisi 19 Mei 2014 berjudul Oknum dalam Politik Bahasa, istilah oknum sering digunakan oleh media massa pada Era Orde Baru (Orba) untuk membiaskan masalah yang sifatnya struktural menjadi masalah individual pelakunya. Tujuan dari pembiasan tersebut tidak lain bertujuan untuk melindungi nama baik institusi kenegaraan yang anggotanya melakukan perbuatan tercela.
Hal tersebut dibuktikan dengan jarangnya penggunaan istilah oknum untuk anggota organisasi atau institusi non-negara. Menurut Seno, jarang sekali ada istilah oknum petani, oknum nelayan, atau oknum buruh. Istilah yang paling sering keluar adalah oknum polisi, oknum TNI, dan oknum-oknum lain yang diikuti oleh nama instansi pemerintahan.
Penggunaan kata oknum ini, kata Seno, tidak terlepas dari politik kebahasaan pada Era Orba. Menurut Ekarini Saraswati dalam buku Rekayasa Bahasa Politik Orde Lama dan Orde Baru, setiap elite politik yang berkuasa pada umumnya menyusun sebuah kamus bahasa yang disesuaikan dengan ideologi dan kepentingannya, yang kemudian disebut sebagai politik bahasa. Pada era Orba, politik bahasa yang kentara adalah eufemisme adalah penghalusan kata-kata.
Kata oknum merupakan salah satu bentuk penghalusan kata sebagai bagian dari implikasi dari politik kebahasaan pada era Orba. Penggunaan kata oknum oleh media massa ketika ada pejabat negara yang melakukan tindakan tercela, seperti korupsi, tindak kekerasan atau perbuatan tercela lainnya dimaksudkan agar institusi pemerintahan tetap terjaga. Di balik nama baik yang terjaga, masalah struktural institusi tersebut tidak pernah mendapat solusi karena publik diarahkan untuk memahaminya sebagai perbuatan individual belaka.
Masalah timbul ketika kemudian perbuatan tercela itu dilakukan oleh mereka yang mempunyai jabatan secara sistematis melibatkan banyak pejabat lainnya di struktur kelembagaan sehingga bukan satu dua saja yang terlibat dalam perbuatan tercela. Apakah ini masih pantas disebut sebagai perbuatan oknum saja, seperti misalnya peristiwa rekayasa kasus kematian Brigadir Joshua yang melibatkan atasannya dan banyak aparat polisi lainnya ?.
Lalau bagaimana halnya dengan kasus Stadion Kanjuruhan yang juga banyak melibatkan unsur pengambil kebijakan khususnya korps bhayangkara, apakah masih pantas untuk disebut sebagai perbuatan oknum saja ? Sementara beberapa lembaga seperti Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil menyebutnya sebagai dugaan kejahatan yang terjadi secara sistematis yang tidak hanya melibatkan pelaku lapangan semata ?
Atas terjadinya peristiwa Kanjuruhan yang menewaskan banyak nyawa manusia, sudah sepantasnyakah kode keras 1312 yang mempunyai makna “Semua Polisi Adalah B*j*ng*n” disematkan kepada jajaran korps bhayangkara ?
Pasca Kode Keras 1312
Peristiwa bertubi tubi yang menerpa jajaran korps bhayangkara memang seperti tidak ada habis habisnya. Peristiwa pilu stadion Kanjuruhan menjadi rangkaian kejadian yang semakin menambah jatuh marwah kepolisian negara sampai akhirnya muncul kode keras 1312 yang tidak enak di dengar di telinga.
Pasca kejadian tersebut, mereka yang dianggap bertanggungjawab ditetapkan sebagai tersangka. Pihak kepolisian diketahui telah menetapkan enam orang tersangka, terdiri atas tiga warga sipil dan tiga anggota kepolisian,dengan pasal berbeda.
Hingga tanggal 11 oktober 2022 yang lalu , jumlah anggota Polri yang diperiksa terkait Tragedi Kanjuruhan terus bertambah jumlahnya. Hingga kini, anggota Polri yang diperiksa sudah berjumlah 31 orang termasuk Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta yang telah dicopot dari jabatannya.
Langkah langkah yang telah diambil oleh pihak yang berwenang rupanya memang belum membuat keluarga korban menerima dengan lapang dada. Terbukti Suporter Arema FC, Aremania, masih melayangkan somasi kepada Presiden Jokowi, Kapolri Jenderal Listy Sigit Prabowo, Panglima TNI Andika Perkasa, Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan dan pemangku kepentingan lain terkait Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada Sabtu, 1 Oktober 2022. Mereka mendesak para petinggi tersebut meminta maaf secara terbuka di media nasional.
Somasi itu dilayangkan melalui surat tertanggal Selasa, 4 Oktober 2022. Aremania juga menuntut pihak pengamanan dan panitia pelaksana pertandingan menyatakan tragedi yang menewaskan 131 orang ini murni kesalahan mereka.
Sebenarnya bagaimana mengukur kejadian Kanjuruhan tersebut dengan sebuah pernyataan maaf yang serius sesuai harapan mereka? Apakah permintaan supporter Arema FC tersebut terlalu mengada-ada?.
Kiranya kita perlu melihat bagaimana standar moral elit kita dalam sebuah insiden yang bersifat menggegerkan atau dengan magnitute yang sangat besar seperti halnya tragedi Kanjuruhan yang menelan banyak korban jiwa.
Jika kita bandingkan dengan negara lain seperti Korea Selatan atau Jepang, standar moral elit kita memang masih jauh berbeda. Sebagai contoh di Korea Selatan pada medio April 2014, sebuah kapal Ferry yang mengangkut ratusan pelajaran tenggelam di Korea. Sebanyak 187 orang meninggal dunia. Sebelas hari kemudian Perdana Menteri Korea menyatakan mundur dari jabatannya. Dalam pernyataannya yang dimuat BBC, 27/4/14, “cries of the families of those missing still keep me up at night” (Tangisan keluarga dari orang-orang yang meninggal menghantui saya setiap malam), sehingga ia akhirnya menyatakan mundur dari jabatannya.
The Guardian, 27/4/14 memberitakan bahwa mundurnya Chung Hong Won itu sebagai simbol maaf dari pemerintah Korea. Di Korea, Chung adalah orang kedua setelah Presiden Korea. Meskipun urusan tenggelamnya The Sewol Ferry secara teknis adalah tanggung jawab kapten kapal, krew dan pejabat terkait lalulintas kapal, namun rasa malu, rasa bersedih dan penghormatan terhadap keluarga yang berduka diambil tanggung jawabnya oleh kepala pemerintahan Korea.
Pejabat di Indonesia memang tidak seperti di Jepang atau Korea yang sangat terkenal dengan budaya malunya.Memang mengharapkan elit-elit negara kita yang mempunyai budaya malu masih sangat susah di negara kita. Apalagi dalam situasi dimana para pejabat umumnya sibuk mengejar jabatannya dengan menghalalkan segala cara.
Terkait dengan peristiwa Kanjuruhan, sejauh ini pemberian sanksi pidana terhadap kelompok pelaksana teknis lebih terkesan sebagai hanya upaya mencari kambing hitam saja, jika melihat magnitude persoalan ini yang begitu besar dan mendapatkan sorotan dunia. Presiden boleh jadi memerintahkan TGIPF, yang diketuai Mahfud MD, bekerja untuk mencari fakta, namun sebaiknya sebelum sanksi pidana terjadi, refleksi moral semestinya perlu dilakukan juga. Harus ada pernyataan maaf yang diikuti dengan rasa bertanggung jawab, misalnya mundur dari jabatannya.
Kita tentu mengapreasi upaya penegakan hukum terhadap mereka mereka yang secara langsung bertanggungjawab atas peristiwa Kanjuruhan yang menelan banyak korban jiwa. Kita juga patut mengapresiasi langkah polisi Malang yang sujud mohon ampun pada Senin, 10 Oktober 2022 sebagai bentuk permohonan maaf mereka.
Mentalitas seperti ini yang menyebabkan negara sekarang semakin berantakan, karena para elit dengan kekuasaan yang ada digenggamannya, merasa tidak punya beban, sebab menganggap beban ditanggung oleh rakyat bukan penyelenggara negara. Mentalitas ini menyebabkan semakin banyak pelaku kejahatan yang merupakan pemicu malapetaka kemanusiaan di negeri ini bebas berkeliaran begitu saja dan merasa tidak bersalah telah melakukannya.
Kalau memang demikian kenyataannya, apakah kode keras 1312 pasca tragedy stadion Kanjuruhan belum juga mampu menyadarkan elite bangsa khususnya jajaran korp bhayangkara untuk mawas diri menyadari kekeliruannya ?. Apakah tragedi itu belum mampu menggedor jajaran korps bhayangkara untuk mereformasi dirinya yaitu menjadi abdi rakyat / masyarakat dimana masyarakat sebagai “tuannya” ?. Tuan yang menjadi obyek untuk dilayani, diayomi dan dilindungi yang notabene merupakan tugas pokok jajaran korps bhayangkara ?.
Desmon J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI