LANGKAR.ID – Belum reda soal polemik seputar keputusan Presiden yang tiba-tiba mengeluarkan Peraturan Pemerintan pengganti Undang Undang (Perpu) tentang Undang Undang Cipta Kerja, muncul pula gagasan untuk mengganti sistem pemilu yang sekarang ada.
Rencana penggantian sistem pemilu yang akan diberlakukan 2024 mendatang didasarkan pada adanya gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan diajukan oleh dua kader partai politik yaitu dari Nasdem dan PDIP serta empat perseorangan warga negara. Mereka menggugat sejumlah Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), termasuk soal sistem proporsional terbuka.
Para pemohon Pemohon perkara nomor: 114/PUU-XX/2022 itu meminta agar MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional, sehingga sistem pemilu di Indonesia dapat diganti dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup seperti yang berlaku pada masa orde baru (Orba).
Mengapa mereka menggugugat sistem pemilu proporsional terbuka yang sekarang berlaku di Indonesia ?. Apa sesungguhnya sistem pemilu proporsional tertutup dan terbuka serta kelebihan dan kekurangannya ?, Mengapa sistem pemilu proporsional tertutup sering dinarasikan sebagai model pemilu tak ubahnya seperti “membeli kucing dalam karung” yang merugikan para pemilihnya ?, Mungkinkah uji materi terhadap pasal pasal yang diajukan oleh para pemohon untuk mengganti sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup akan dikabulkan oleh MK?
Alasan Para Penggugat
Kalau tidak ada halangan, rencananya MK akan menggelar sidang untuk perkara gugatan uji materi terhadap sistem pemilu terbuka. Dilansir dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, Sabtu (31/12/2022) sidang dijadwalkan pada 17 Januari 2023. Agenda sidang mendatang yakni mendengarkan keterangan dari Presiden, Dewan Perwakikan Rakyat (DPR) dan pihak terkait lainnya.
Sidang uji materi ini digelar untuk memenuhi permintaan yang diajukan oleh enam orang pemohon yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V) dan Nono Marijono (pemohon VI). Keenamnya didampingi oleh Sururudin dan Maftukhan selaku kuasa hukumnya.
Keenam pemohon meminta kepada MK agar menguji materi Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), serta Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu.
Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu berbunyi: “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.””Menyatakan frasa `terbuka` pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar para pemohon dalam salinan gugatan yang dikutip dari laman MK.”Adanya frasa proporsional terbuka, nomor urut, nama calon dan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak menunjukkan kekuatan perseorangan dalam proses Pemilu,” lanjutnya.
Para pemohon menyatakan norma-norma hukum dalam Pasal yang dilakukan uji materi tersebut mengatur begitu besar peranan individu dalam Pemilu, padahal mereka menggunakan mesin partai politik dalam prosesnya.
Kekuatan dan pengaruh individu dalam proses Pemilu yang begitu besar dinilai cenderung mengarah pada populisme semata yang membahayakan bentuk negara dalam hal ini Negara kesatuan Republik Indonesia.Hal itu terlihat pada Pemilu 2019 di mana polarisasi masyarakat dan penggalangan massa oleh individu populis telah mengoyak rasa persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia.
“Hal ini bisa terjadi karena orang-orang memiliki hasrat untuk menjadi populer yang demi menggalang dukungan tanpa melalui seleksi dan kaderisasi terlebih dahulu melalui sistem yang demokratis dan taat konstitusi dalam setiap langkahnya,” kata para pemohon dalam argumentasinya.
Sementara itu kuasa hukum para pemohon, Sururudin mengatakan pasal-pasal tersebut telah menimbulkan individualisme para politisi yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik pengusungnya.
Menurutnya, sistem proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individu total dalam Pemilu. Padahal, peserta Pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat 3 UUD 1945.
“Sistem Pemilu proporsional berbasis suara terbanyak akan melemahkan pelembagaan sistem kepartaian,” ujar Sururudin dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Rabu, 23 November tahun lalu di Jakarta.
Di samping itu, sistem proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak juga memakan biaya mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk Pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.”Dengan mengacu pada alasan-alasan yang kami terangkan di atas, memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucapnya.
Argumentasi yang disampaikan oleh para pemohon ini di dukung oleh PDI Perjuangan sebagaimana dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto dalam sebuah pernyataannya.
Hasto menyatakan bahwa sistem proporsional terbuka membawa dampak liberalisasi politik di Indonesia.“Bagaimana liberalisasi politik mendorong partai-partai menjadi partai elektoral dan kemudian menciptakan dampak kapitalisasi politik, munculnya oligarki politik, kemudian persaingan bebas dengan segala cara,” kata Hasto dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (30/12/22) seperti dikutip oleh media.
Selain itu, lanjut dia, Kongres V PDI-P memutuskan pemilu dengan sistem proporsional tertutup sesuai dengan amanat konstitusi negara.”Di mana peserta pemilihan legislatif adalah partai politik,” ucap dia.
Ia juga menambahkan bahwa sistem proporsional tertutup akan mendorong proses kaderisasi di internal parpol dan meminimalisasi kecurangan pemilu.“Selanjutnya juga memberikan insentif terhadap kinerja di DPR, dan pada saat bersamaan, karena ini adalah pemilu serentak antara pileg dan pilpres, maka berbagai bentuk kecurangan itu bisa di tekan,” ungkapnya.
Terakhir, ia menganggap bahwa sistem proporsional tertutup dapat mengurangi biaya pemilu secara signifikan.“Di tengah berbagai persoalan perekonomian kita, biaya pemilu bisa jauh ditekan,” kata Hasto.
Plus Minus Terbuka dan Tertutup
Saat ini sistem pemilu legislatif (pileg) di Indonesia menganut prinsip proporsional terbuka. Sistem ini digunakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Melalui sistem proporsional terbuka, pemilih bisa langsung memilih calon anggota legislatif (caleg) yang diusung oleh partai politik peserta pemilu yang menjadi pengusungnya. Artinya dengan sistem proporsional terbuka ini memberikan hak pilih bagi rakyat untuk memilih nama calon tokoh politik secara individu yang diinginkannya.
Ada beberapa negara yang memakai sistem proporsional tertutup ini seperti Portugal, Turki hingga Kamboja.Sistem proporsional terbuka di Indonesia telah digunakan sejak Pemilu Legislatif 2004, 2009, 2014, dan 2019.
Sementara itu sistem proporsional tertutup merupakan sistem pemilu yang memberikan hak kepada rakyat untuk hanya memilih partai politik yang di inginkannya.Kandidat atau tokoh politik tidak dapat dipilih secara individu oleh rakyat, melainkan partai politik sudah mempersiapkan nama kandidat yang akan terpilih bilamana partai memperoleh banyak suara.
Surat suara sistem pemilu proporsional tertutup hanya memuat logo partai politik tanpa rincian nama calegnya .Sementara, calon anggota legislatif ditentukan partai pengusungnya. Oleh partai, nama-nama caleg disusun berdasarkan nomor urut dimana nantinya calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut yang ada.
Jika partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah nomor urut 1 dan 2. Adapun sistem pemilu proporsional tertutup pernah diterapkan pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999 setelah tumbangnya penguasa Orba.
Dalam kaitan dengan kemungkinan perubahan sistem pemilu terbuka ke sistem tertutup ini, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengimbau kepada pihak yang hendak mencalonkan diri sebagai caleg agar bisa menunggu putusan MK, dikarenakan apabila sistem proporsional tertutup tersebut diberlakukan kembali, maka nama caleg tidak akan dicantumkan dalam surat suara.
Sistem pemilu mana yang nantinya akan diberlakukan pada pemilu 2024, keduanya mempunyai unsur lebih dan kurangnya alias ada plus dan minusnya. Sistem proporsional terbuka dinilai mempunyai kelebihan diantaranya :
1. Sistem proporsional terbuka dinilai mengakibatkan biaya politik tinggi karena persaingan antar calon di dalam partai yang biasa tergantung pada persaingan modal diantara mereka. Bisa muncul tokoh diluar kepengurusan partai yang tiba tiba nongol karena ketokohan atau kekuatan modalnya sehingga menyingkirkan pengurus partai yang sudah lama mengabdi dipartainya sehingga bisa merusak sistem pengkaderan dan kecemburuan diantara caleg yang akan maju bersaing mendapatkan kursi yang diperebutkannya
2. Berpotensi menyuburkan adanya politik uang karena nomor urut menjadi tidak terlalu penting lagi untuk menentukan seseorang mendapatkan kursinya. Yang penting adalah bagaimana mendapatkan suara sebanyak banyaknya untuk sang calon yang bersangkutan dan ini bisa dilakukan dengan praktek politik uang kepada target/pemilik suara. Merebaknya politik uang pada akhirnya akan berimbas pada perilaku korupsi anggota Dewan terpilih karena mereka yang terpilih merasa harus mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya.
3. Dengan sistem proporsional terbuka dimana penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak juga memakan biaya mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk Pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota
4. Dengan sistem proporsional terbuka dinilai bakal melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individu total dalam Pemilu. Padahal, peserta Pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat 3 UUD 1945
Sementara itu sistem proporsional tertutup dinilai mempunyai kelebihan diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kerja KPU RI dinilai akan lebih efisien dengan sistem proporsional tertutup, karena format suara akan jauh lebih sederhana dengan hanya menampilkan lambang partai politik, tanpa harus mencetak daftar nama caleg di setiap dapil yang ada.Saat ini dengan dengan format surat suara yang ada seringkali membingungkan bukan hanya pemilih tapi juga pelaksana pemilunya
2. Dengan sistem proporsional tertutup dimungkinkan bakal menciptakan persaingan yang lebih adil kepada para calon anggota legislative karena tidak ada lagi pertarungan antar calon karena partai yang akan menentukannya. Mereka-mereka yang sekarang mengurusi partai akan merasa lebih dihargai sumbangsihnya ketimbang kader cabutan yang tiba tiba muncul hanya pada saat pencalegan tiba. Jangan sampai kader lama yang sudah berkorban luar biasa, kemudian pada saat pencalonan itu kalah sama orang baru yang membawa duit karena lebih tebal amplopnya.
3. Sistem Pemilu proporsional tertutup dinilai mampu meminimalisasi politik uang dan karenanya biaya Pemilu menjadi lebih murah jika dibandingkan dengan sistem proporsional terbuka.
Sungguhpun demikian, sistem proporsional tertutup juga dinilai mengandung beberapa kelemahan diantaranya :
1. Dinilai bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat karena rakyat tidak bisa langsung menentukan siapa yang akan menjadi wakilnya.Dengan sistem proporsional tertutup, yang terjadi adalah tampilnya anggota-anggota parlemen yang tidak dikenal oleh rakyat yang diwakilinya. Maklum, rakyat hanya memilih tanda gambar partai, dan siapa yang terpilih dasarnya adalah nomor urut yang ditentukan oleh parpol pengusungnya
2. Dalam sistem proporsional tertutup, perjuangannya adalah bagaimana mendapatkan nomor urut kecil, kalau bisa dapat nomor pertama. Maka, resepnya adalah: dekat-dekatlah kepada pimpinan partai yang menjadi pengusungnya. Dekat kepada rakyat menjadi tidak terlalu penting lagi karena yang penting branding partai tetap kuat di dapilnya. Partai menang, caleg nomor urut 1 terpilih dan kalau ada suara lebih bisa mendapatkan dua kursi yang berarti caleg nomor dua yang akan menikmatinya.Sementara caleg caleg nomor urut berikutnya hanya menjadi penyumbang suara. Dalam hal ini seseorang bisa terpilih dan terpilih kembali walau tidak jelas kinerjanya. Selama dia dekat dengan pimpinan partai, dia bisa terus dapat nomor urut 1, dan kemungkinan besar akan kembali menduduki kursinya.Kalau ini terjadi, maka yang akan tampil di DPR dan DPRD adalah para elit partai dan orang-orang yang jago cari muka kepada pimpinan partai pengusungnya. Mereka sejatinya bukanlah wakil rakyat yang sebenarnya.
3. Sistem proporsional tertutup pada Pemilu di Indonesia dikhawatirkan bakal memperkuat lagi sistem oligarki kepartaian dan menguatnya partai (struggle for power).Sistem semacam itu sering dianggap kembali ke model Pemilu semasa Orba sehingga kalau sistem tertutup yang akan diterapkan ini berarti sama dengan kemunduran namanya
4. Mempersempit kanal partisipasi publik dalam Pemilu, serta menjauhkan ekses hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pasca Pemilu terlaksana. Dengan proporsional tertutup, akan membuat komunikasi politik tidak berjalan secara efektif antara wakil dan yang diwakilinya. Tidak hanya itu, krisis calon anggota legislatif juga menjadi sulit dihindari karena sedikitnya yang berminat dan serius maju menjadi Caleg disebabkan siapa-siapa saja yang akan duduk di parlemen nantinya sudah bisa diprediksi sejak jauh-jauh hari lantaran keputusannya ditentukan oleh partai pengusungnya. Pada sistem proporsional tertutup, partai berkuasa penuh dan menjadi penentu siapa-siapa saja yang akan duduk di kursi parlemen, setelah perolehan suara partai dikonversikan ke jumlah kursi yang ada.
Demikianlah gambaran mengenai pemilu dengan sistem proporsional terbuka dan tertutup dimana masing masing ada kelemahan tetapi ada juga kelebihannya. Kiranya pro kontra mengenai sistem pemilu ini akan terus berlanjut sampai nanti MK menentukan keputusannya: apakah mengubah sistem terbuka yang saat ini berlaku atau sebaliknya.
Seperti Membeli Kucing dalam Karung
Dalam sejarahnya, sistem pemilu proporsional tertutup pernah membuat Indonesia masuk dalam kubangan demokrasi semu di bawah rezim Orba. Sistem ini dinilai telah gagal mengantarkan demokrasi yang berkualitas di Indonesia karena rakyat yang banyak dirugikannya.
Rakyat memilih wakil rakyat yang tidak jelas siapa orangnya karena yang paling menentukan adalah partai yang menjadi pengusungnya. Itulah sebabnya sistem pemilu proporsional tertutup ini tak ubahnya seperti membeli kucing di dalam karung dimana pembeli tidak mengetahui seperti apa bentuk dan rupa kucingnya.
Peribahasa membeli kucing dalam karung itu artinya sebuah kiasan untuk mengingatkan kita supaya berhati-hati dalam membeli sesuatu agar tidak menyesal nantinya. Adat membeli itu harusnya tampak dan jelas yaitu jelas `jantan” betinanya. Jelas pula jenis dan bentuknya.
Dengan demikian sebelum membeli maka kondisi barang yang akan dibeli tersebut harusnya diketahui oleh penjual dan pembelinya. Jual beli barang yang kondisinya tidak diketahui sebenarnya terlarang karena akan merugikan salah satu pihak khususnya pembelinya.
Cara mengetahui kondisi itu beragam: bisa jadi dengan cara dilihat, didengarkan, dicium baunya, dikecap rasanya, disentuh, dan semisalnya, tergantung jenis barang yang akan diperjualbelikannya. Pengetahuan tentang kondisi barang juga bisa dapatkan melalui deskripsi yang jelas tentang barang tersebut meski kita tidak melihatnya secara langsung seperti apa barangnya.
Memilih caleg dalam pemilu tak ubahnya seperti orang membeli barang yang di inginkannya.Karena itu memilih partai politik tanpa ruang bagi rakyat untuk memilih sendiri caleg yang dipercaya jelas merugikan rakyat sebagai pemilik mandat yang sesungguhnya. Ini ibarat membeli kucing dalam karung karena tidak jelas barang yang dibelinya.
Dalam konteks pemilihan wakil rakyat maka “kucing” adalah wakil rakyatnya sementara “karung” adalam partai pengusungnya. Dalam hal ini memilih “kucing” atau wakil rakyat sangat penting tentunya. Karena dalam beberapa kasuss, berubah atau tidaknya nasib masyarakat di suatu daerah secara bersama-sama, sangat bergantung pada `kapasitas pikiran dan hati serta perbuatan para wakil rakyat yang mewakilinya.
Makin cerdas dan makin hebat, serta makin `berperasaan`nya para wakil rakyat maka kian besar pula harapan untuk terwujudnya kehidupan yang lebih baik secara bersama sama. Peran DPRD dan DPR serta DPD itu sangat penting bagi kemajuan bangsa. Meskipun harus diakui unsur eksekutif sebagai penentu utamanya.
Namun harap dimaklumi juga bahwa APBD, APBN itu tersusun karena pikiran bersama antara legislatif dan eksekutif dan disepakati oleh wakil rakyat kita. Pemerintah menjalankan kesepakatan yang tersusun itu sebagai eksekutornya. Sekali lagi, peran wakil rakyat itu; penting bagi kemajuan bangsa Indonesia. Wakil rakyat itu harus orang hebat jiwa, raga, perbuatan, perasaan dan pikirannya. Idealnya memiliki pandangan serta cita-cita dan idealisme yang jelas bagi kemajuan orang banyak yang diwakilinya.
Untuk memilih dan menetukan calon anggota legislatif yang “hebat” tersebut tentunya harus memakai asas membuat berita yakni 5W+1H. Yaitu; 5W=1H singkatan dari “what, who, when, where, why, how atau “apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, bagaimana.” Semua unsur inilah yang harus terkandung dalam menentukan pilihan yang tepat yang kita percayai akan mampu mendatangkan kebaikan secara bersama sama.
Dengan sistem proporsional terbuka, ada peluang untuk menanyakan kepada caleg tentang Apa yang telah mereka lakukan untuk orang banyak pada umumnya. Kontribusi mereka selama ini untuk dan pada masyarakat serta lingkungannya. Apakah caleg itu selama ini pemberi solusi bagi persoalan sosial yang ada ?. Apakah caleg itu punya pikiran bagi kepentingan orang banyak, bukan bagi kepentingan kelompok atau keluarga saja. Apakah mereka benar-benar menjadikan dirinya untuk “kepentngan” bagi semua ?
Dengan sistem proporsional terbuka maka pertanyaan Siapa mengacu pada siapa Caleg yang akan maju mewakili mereka ? Apakah ia mencaleg hanya karena “iseng-iseng berhadiah” yakni dapat “jadi” indak dapat “tidak apa-apa”. Apakah ia mencaleg karena menganggap bahwa lembaga “legislatif” adalah lembaga “lowongan pekerjaan terhormat` yang dibuka sekali 5 tahun lamanya ?. Apakah ia mencaleg karena keinginan keluarganya, orangtua dan bukan atas keinginannya ?
Dengan sistem proporsional terbuka maka pertanyaan Kapan mengacu pada Kapan Caleg yang akan maju mewakili mereka muncul sebagai calon wakil rakyat di daerahnya. Apakah ia muncul hanya dalam waktu menjelang pemilu saja? Dan sebagainya.
Dengan sistem proporsional terbuka, pertanyaan Dimana mengacu pada Dimana posisi Caleg itu selama ini, apakah sejak dulu dia sudah ada di tengah masyarakat yang akan diwakilinya ? di saat mana kita membutuhkan mereka? Apakah caleg itu orang yang sudah mengenal wilayah an persoalan yang ada di wilayah yang akan diwakilinya ?
Dengan sistem proporsional terbuka, pertanyaan Mengapa mengacu pada alasan tentang Mengapa ia berminat menjadi wakil rakyat yang adakan diperjuangkan kepentingannya ? Apa kepentingannya?. Mengapa ia mau mengorbankan waktu, tenaga dan uang untuk menjadi wakil rakyat yang akan diwakilinya ?
Dengan sistem proporsional terbuka, pertanyaan Bagaimana mengacu pada Bagaimana peluang kemampuan caleg itu untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat yang akan diwakilinya. Bagaimana lekat tangannya untuk membantu kepentingan orang banyak pada umumnya di daerah yang akan diwakilinya. Bagaimana perbuatannya selama ini untuk orang orang yang ada disekitar tempat tinggalnya, adakah kontribusinya ?.
Pertanyaan pertanyaan yang berkaitan dengan sosok seorang calon wakil rakyat sebagaimana disebutkan diatas dalam sistem pemilu proporsional tertutup akan diserahkan sepenuhnya pada otoritas partai pengusungnya. Partai yang menilai tentang “apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, bagaimana.”tentang caleg yang di usungnya.
Itulah makna sistem pemilu proporsional tertutup dimana rakyat otoritasnya hanya sampai memilih karung (partai) dan tidak sampai bisa mencermati isi karungnya. Dengan cara ada yang menilai sistem pemilu proporsional tertutup bermakna mengebiri kedaulatan rakyat karena rakyat tidak bisa secara langsung menentukan wakil rakyat yang di inginkannya.
Mungkin atas pertimbangan ini pula ditambah dengan komitmennya untuk terus mengawal pertumbuhan demokrasi di Indonesia, pada akhirnya delapan fraksi di DPR menyatkaan sikapnya. Delapan dari sembilan fraksi di DPR mengeluarkan surat pernyataan sikap bersama agar Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
Seperti dikutip law-justice.co , 04/01/2023, delapan fraksi tersebut ialah Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai NasDem, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Fraksi Partai Gerindra.
Menunggu Keputusan MK
Sehubungan dengan adanya gugatan uji materi sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup yang telah diajukan ke MK, Lembaga ini rencananya akan segera menyidangkannya. Dilansir dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, Sabtu (31/12/2022) sidang dijadwalkan pada 17 Januari 2023.
Terkait dengan uji materi perkara ini memang ada nuansa kelucuan disana. Karena pihak yang menggugat mendalilkan bahwa sistem proporsional terbuka bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, dalil yang sama juga disampaikan oleh mereka yang menentang sistem proporsional tertutup yang dinilai juga bertentangan dengan konstitusi negara.
Perlu diketahui bahwa MK pada tanggal 23 Desember 2008 yang lalu telah memutuskan untuk menolak uji materi tentang sistem proporsional terbuka. Hal ini karena MK menilai sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan sistem proporsional tertutup bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi negara.
Sehingga jika ada yang kembali mengajukan peninjauan kembali tentang sistem proporsional terbuka maka langkah itu bertentangan dengan prinsip putusan MK.Putusan MK tahun 2008 itu mestinya tidak dapat diubah karena sifatnya yang final dan mengikat untuk semua. Artinya, terhadap putusan MK tidak bisa diajukan upaya hukum lainnya.
Meski dahulu ketika diputuskan, pengambilan keputusan dilakukan oleh individu hakim yang berbeda, karena pada dasarnya keputusan MK adalah keputusan sebuah lembaga hukum dan bukan keputusan pribadi hakim yang memutusnya.
Jika sebuah pasal yang sudah pernah digugat, disidangkan dan diputuskan oleh MK itu di kemudian hari bisa digugat lagi oleh pihak tertentu, maka akan menjadi pembenaran bagi banyak pihak yang tidak setuju dengan keputusan MK terdahulu untuk kembali mengugatnya. Jika ini terus terjadi akan bisa merusak legitimasi hukum di Indonesia. Sehingga gugatan seperti ini sudah sepantasnya untuk ditolak atau diabaikan oleh MK.
Harapan agar MK menolak gugatan uji materi sistem pemilu proporsional terbuka juga disampaikan oleh delapan fraksi di DPR yang meminta supaya MK tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU Pemilu sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia.
Perubahan sistem pemilu semestinya cukup menjadi domain pembentuk undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR RI saja. Apabila MK terlibat terlalu jauh terhadap soal ini berarti MK bukan lagi menggunakan pendekatan konstitutif, tetapi malah terjebak dalam pendekatan aktual lapangan yang semestinya menjadi ranah pemerintah dan DPR RI sebagai pembentuk undang-undang untuk memutuskannya.
Kalaupun dinilai sistem pemilu terbuka mengakibatkan hal-hal buruk, seperti pragmatisme, biaya mahal, persaingan tidak sehat antarcaleg, dan penurunan loyalitas kepada partai, itu semua sesungguhnya bukan persoalan konstitusional karena bisa dipecahkan dengan merevisi undang-undang yang mengaturya atau penegakan hukumnya.
Perlu diingat pula bahwa upaya mengubah sistem pemilu sebagaimana uji materi yang diajukan ke MK akan ada dampaknya. Perubahan sistem proporsional ke arah tertutup akan menimbulkan dampak cukup besar, bukan saja mengubah hal-hal teknis tetapi memengaruhi suasana mental kebatinan dan cara kampanye partai politik dalam menangguk suara.
Secara teknis, proporsional tertutup memang lebih memudahkan KPU mempersiapkan pemilu, khususnya yang berkaitan dengan persiapan logistiknya. Namun ‘harga’ yang harus dibayar cukup mahal, karena selain dampak yang ditimbulkan adalah terjadinya perubahan konfigurasi internal pencalegan di masing-masing parpol, juga proses pematangan, pendewasaan, dan kompetisi para caleg akan berpotensi menjadi berubah pula.
Selain itu dimungkinkan akan terjadi perubahan perilaku politik para politisi menjadi lebih elitis dan hubungan caleg dan konstituen yang selama ini sudah terbangun akan ambyar karenanya. Hal ini akan berdampak buruk pada hubungan anggota legislatif terpilih dengan masyarakat di daerah pemilihannya.
Dengan demikian upaya untuk mengembalikan sistem pemilihan legislatif ke sistem proporsional tertutup sesungguhnya merupakan bentuk set back atau memutar jarum ke belakang dan mengebiri hak rakyat dalam memilih wakil wakilnya.
Hari hari ini insan politik di Indonesia memang sedang menunggu keputusan MK, apakah setuju untuk mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka atau sebaliknya.Harapan agar MK tetap konsisten dengan keputusannya untuk mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU Pemilu sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia, bisa saja kandas jika mengingat kondisi MK sekarang yang dinilai “tidak sedang baik baik saja”.
Sejauh ini ramai beredar dugaan kondisi internal MK yang sudah cenderung menjadi alat bagi pemegang kuasa untuk menjalankan agenda politiknya. Sehingga muncul akronim akronim yang tidak enak didengar di telinga seperti :MK singkatan dari Mahkamah Kasur atau MK singkatan dari Mahkamah Kompromi dan sebagainya.
Sinyal dugaan bahwa MK tidak lagi independen dan menjadi pelayan kekuasaan sebenarnya sudah lama terbaca sinyalnya. Sinyal itu terbaca misalnya sejak MK berhasil memenangkan Jokowi dalam gugatan Pilpres 2019 mengalahkan pasangan Prabowo-Sandiaga. Kemudian keputusan MK terkait dengan UU Covid 19 UU No 2 tahun 2020, begitu juga dengan UU Cipta Kerja yang sudah jelas bertentangan dengan Konstitusi ternyata masih diberi waktu hingga 2 tahun untuk perbaikan proses pembentukannya.Belum lagi semua gugatan terkait dengan Presidential Threshold ditolak permohohannya oleh MK.
Menurut pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra yang juga Ketua Umum Partai PBB menyebut penolakan penolakan tersebut terjadi karena MK saat ini bukan lagi sebagai “the guardian of constitution”, melainkan telah berubah menjadi “the guardian of oligarchy”, begitu katanya.
Penilaian Yusril Ihza Mahendra yang menyebut MK telah menjadi alat kekuasaan karena telah menjadi kepanjangan tangan oligarki untuk menghalang-halangi hak warga negara mendapatkan hak konstitusinya jangan jangan juga akan terjadi ketika memutuskan untuk sistem pemilu 2024 mendatang, apakah tetap memakai sistem terbuka atau sebaliknya. Apakah kembali ke sistem “membeli kucing dalam karung” atau tetap mempertahankan sistem yang sekarang ada. Mari kita tunggu bersama sama keputusan MK.
(Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI) )