LANGKAR.ID – Berawal dari pernyataan seorang Menko Polhukam, Mahfud MD yang akhirnya meledak menjadi berita yang hingga kini masih ramai dibicarakan di media massa. Mahfud MD mengatakan : “Saya sudah dapat laporan, malah ada pergerakan mencurigakan senilai Rp 300 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan yang sebagian besar ada di Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai,” kata Mahfud MD di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta seperti dilaporkan media.
Pernyataan dari Menkopolhukam tersebut karuan saja membuat heboh dimana-mana memunculkan pendapat pro dan kontra. Menyikapi kegaduhan yang terjadi, pada akhirnya Komisi III DPR RI memanggil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, Selasa (21/3/2023) di Gedung Parlemen, Jakarta.
Dalam kesempatan rapat dengar pendapat (RDP) dengan PPATK tersebut, saya mengusulkan untuk dibentuk Pansus (Panitia Khusus) dana siluman 345 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan. Karena uang 349 triliun itu tentunya bukan uang yang sedikit jumlahnya ditengah situasi keuangan negara yang sedang defisit sehingga harus ditambal dengan utang dari mancanegara.
Mengapa perlu dibentuk Pansus dan bukan sekadar Panja saja ?, Apa yang paling penting untuk di ungkap oleh Pansus nantinya ?. Sejauh mana dampak pembentukan Pansus ini nantinya dalam kaitannya dengan upaya untuk mencapai tujuan negara ?
Pentingnya Pansus
Panitia khusus (Pansus) dijelaskan dalam pasal 93 Tatib DPR yakni: Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara. Jumlah anggota pansus ditetapkan oleh rapat paripurna DPR paling banyak 30 orang .Keanggotaan di dalam Pansus melibatkan lintas fraksi dan komisi, serta diisi secara proporsional berdasarkan jumlah anggota setiap fraksi yang ada.
Ruang lingkup pansus juga dijelaskan dalam Tatib DPR pada pasal 97. Di sebutkan bahwa ruang lingkup pansus lebih luas daripada Panja yakni dapat melakukan rapat kerja, rapat panitia kerja, rapat tim perumus/tim kecil dan atau rapat tim sinkronisasi dan sebagainya.
Tak hanya itu, apabila dirasa perlu untuk membuat sebuah kasus menjadi terang benderang, selama disepakati Pansus dapat membuat mekanisme lainnya. Ketentuan ini diatur dalam pasal 97 ayat 2, berbunyi: Dalam melaksanakan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan mekanisme lain sepanjang disepakati oleh pimpinan dan anggotanya
Pembentukan Pansus dana siluman 349 triliun dirasakan memang sangat penting karena berkaitan langsung dengan pajak yang merupakan sumber utama pendapatan negara. Karena itu persoalan dana 349 triliun tersebut perlu di ungkap dengan seterang terangnya agar tidak lenyap begitu saja.
Selain itu dibentuknya Pansus merupakan wujud keseriusan DPR khususnya komisi 3 untuk mengungkap duduk persoalan yang sesungguhnya. Agar supaya kecurigaan kecurigaan dan kegaduhan kegaduhan yang terjadi selama ini bisa di clearkan sedemikian rupa. Apakah memang ada sesuatu dibalik dana siluman 349 triliunan tersebut misalnya perbuatan tindak pidananya dan sebagainya.
Seperti diketahui tanggal 21 Maret yang lalu, Komisi 3 telah memanggil PPATK untuk dimintai keterangannya. Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Kepala PPATK Ivan Yustiavandana terdapat indikasi adanya praktek pencucian uang dalam transaksi keuangan yang di laporannya. Semua pencucian uang, pasti ada tindak pidana di belakangnya, sehingga uang ilegal itu perlu dicuci untuk menghilangkan jejaknya. Tindak pidananya itu bisa dari korupsi, hasil narkoba, dana teroris, atau hasil tindak pidana lainnya. Ternyata menurut Kepala PPATK, praktek pencucian uang itu bukan hanya terjadi di Kementerian Keuangan saja tetapi juga di kementerian lainnya.
Meskipun heboh Rp 300 triliun ini sudah diklarifikasi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Kepala PPATK, nyatanya sampai sekarang kasus itu masih belum kelar juga. Masyarakat belum mengerti, apakah benar ada pencucian uang Rp 349 triliun seperti dilaporkan oleh PPATK ? Terus, siapa saja yang mencuci uang itu dan dari kejahatan pidana dalam bentuk apa ?. Melalui perusahaan apa sajakah pencucian uang itu dilakukan untuk menutupi kejahatannya ?. Bagaimana caranya atau modus operandinya dan sebagainya.
Pansus DPR dibentuk harapannya bisa mengungkap misteri yang berkaitan dengan uang siluman 349 triliun tersebut sehingga menjadi terang duduk persoalannya. Tentu salah satunya adalah dimaksudkan pula agar aparat penegak hukum (APH) seperti KPK, Jaksa Agung dan Kepolisian bisa menindaklanjutinya. Meskipun tanpa Pansus-pun sebenarnya mereka bisa segera sigap untuk melakukan aksinya.
Pansus juga bisa menelusuri silang sengkarut terkait dengan kewenangan antara Lembaga dalam menyikapi persoalan uang siluman 349 triliun itu agar menjadi jelas pula posisi masing masing dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.
Sebagai contoh pada waktu dipanggil Komisi 3 tanggal 21 Maret 2023 yang lalu, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan: “Kemenkeu adalah salah satu penyidik tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaksudkan dalam UU nomor 8 tahun 2010. Dengan demikian setiap kasus yang berhubungan kepabeanan dan perpajakan kami sampaikan ke Kemenkeu.” Ujarnya. Sehingga pada akhirnya: “Kasus-kasus itulah yang secara konsekuensi logis memiliki nilai yang luar biasa besar. Kita sebut Rp 349 triliun.” Imbuhnya seperti dikutip media.
Pernyataan Ivan yang mengatakan: ‘Kemenkeu salah satu penyidik tindak pidana asal’ tentu menimbulkan tanda tanya. Karena sejauh ini kewenangan menyidik adalah aparat penegak hukum (APH) bukan yang lainnya.
Pernyataan Ivan bertentangan dengan pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dimana Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Sabtu, 11 Maret 2023, mengatakan: “Dan ada 16 kasus yang kami limpahkan ke Aparat Penegak Hukum (APH). Nanti pak Mahfud Md akan menyampaikan, karena Kemenkeu adalah bendahara negara, bukan APH. Jadi dalam hal ini kalau ada suatu kasus yang menyangkut tindakan hukum apakah itu kriminal, itulah yang kemudian kami sampaikan ke APH, apakah itu KPK, polisi, Kejaksaan.”, ujarnya.
Contoh silang sengkarut pemahaman dalam menyikapi suatu kewenangan yang dimiliki antar Lembaga negara tersebut kiranya perlu di clearkan juga agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang pada akhirnya bisa merugikan semua pihak yang terlibat didalamnya. Kiranya melalui Pansus semua bisa dibicarakan untuk di carikan jalan keluarnya. Karena pada intinya masyarakat ingin tahu duduk persoalan kasusnya kemudian penegak hukum bisa melanjutkan untuk penegakan hukumnya.
Modus Operandi
Transaksi mencurigakan senilai 349 triliun memang membuat gerah segenap anak bangsa. Dugaan sementara memang ada praktek pencucian uang didalamnya sehingga harus di ungkap seterang terangnya. Lalu bagaimana sebenarnya praktek pencucian uang itu bisa dilaksanakan untuk menutupi kejahatannya ?
Contoh kasusnya adalah yang terjadi pada mantan pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo yang kekayaannya luar biasa. Kasus pejabat pajak ini, disebut Mahfud MD seperti dikutip media sebagai kasus pencucian uang berdasarkan ilmu intelijen keuangan, bukan bukti hukum melalui proses hukum yang ada.
Mahfud menegaskan temuan tindak pidana pencucian uang oleh Rafael tersebut bermula dari kasus penganiayaan oleh anaknya yang kemudian ditemukan kejanggalan atas harta Rafael yang dinilai tidak wajar nilainya.
Setelah Mahfud bersurat ke Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Firli Bahuri, ternyata telah ada laporan kepada KPK mengenai kecurigaan terhadap harta Rafael pada tahun 2013, namun belum ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.“Saya sampaikan ke Pak Firli, Pak Firli kok ini ada belum ditindaklanjuti? Pak Firli bilang wah saya belum tahu bos. Sesudah itu saya kirim surat ini buktinya bahwa sudah masuk surat ke KPK,“ cerita Mahfud.
“Maka terus dipanggil kan orangnya, karena surat saya itu dan teriakan publik. Rp 56 miliar kekayaannya dianggap tidak wajar. Tahu engga, sesudah diperiksa ulang semua transaksinya itu ada Rp 500 miliar yang terkait dengan dia,” ungkapnya.
Ia pun menilai wajar jika Menteri Keuangan tidak mengetahui adanya tindak pidana pencucian uang di lingkungannya karena berbeda dengan korupsi yang mekanismenya telah berjalan dengan baik di Kementerian Keuangan negara.“Bukti pencucian uang seperti itu. Menteri bisa tidak tahu bahwa ada uang seperti itu dan memang di luar kuasa Menteri,” ucapnya.
Karena uang tersebut memang belum masuk ke kas negara. Menurut Mahfud MD, modus pencucian uang yang terjadi di kementerian menggunakan berbagai macam cara.Salah satunya, seorang oknum kementerian membuat perusahaan cangkang untuk menimbun uang di sana.”Orang beli proyek, orang ini, seakan tidak ada apa-apa, tapi dia bikin perusahaan cangkang di situ,” ujar Mahfud dalam konferensi pers di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Sabtu (11/3/2023), seperti dikutip TribunJatim.com dari Kompas.com.”Istrinya bikin ini, itu (berbagai usaha) yang tidak jelas juga siapa pelanggannya. Uangnya bertumpuk di situ,” lanjut dia.
Apabila hal itu tidak bisa ditertibkan oleh menteri sebagai pemimpin kementerian, kata Mahfud, maka ada aparat penegak hukum yang seharusnya menindaknya. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) inipun mengungkapkan, pemerintah sebenarnya punya banyak data mengenai pencucian uang di berbagai kementerian negara.Sehingga, oknum aparatur sipil negara (ASN) kementerian sebaiknya tidak merasa kondisi mereka baik-baik saja.
Belakangan ini terkuak juga modus pencucian uang yang melibatkan seorang artis ternama di Indonesia. Seperti dilansir oleh law-justice.co 25/3/23, artis inisial P menjadi perbincangan karena terlibat kasus dugaan pencucian uang senilai Rp 4,4 triliun nilainya. Artis inisial P ini sedang ramai dibicarakan karena berhasil mencuci bisnis hitam menjadi bisnis putih dan layak konsumsi uangnya
Indonesian Audit Watch (IAW) mengungkapkan bahwa ada artis inisial P diduga terlibat kasus pencucian uang yang sangat besar nilainya.Artis ini seorang wanita, dan menggunakan bisnis skin care sebagai kedoknya. Dugaan ini disampaikan oleh Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, dikutip dari YouTube Cumicumi pada 21 Maret 2023, Dikutip, Sabtu (25/3/2023)
Modus lainnya diungkapkan oleh Yunus Husein yang merupakan mantan Ketua PPATK. Kali ini menyoroti kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh oknum pajak dengan wajib pajaknya. Menurut Yunus, modus kejahatan perpajakan terus berkembang sedemikian rupa. Namun, dari pengalamannya dia memaparkan 3 modus kejahatan yang kerap dilakukan pegawai pajak dan wajib pajaknya.
Pertama adalah pegawai pajak aktif merangkap menjadi konsultan wajib pajak tertentu. “Dulu waktu kami pernah melaporkan kasus itu wajib pajak sebagai account representative. Dia, secara halus, membuat namanya tax planning,” kata Yunus dalam program Ni Luh di Kompas TV, seperti dikutip pada Kamis (9/3/2023).
Yunus mengatakan, modus tax planning adalah perbuatan yang dilakukan oleh pegawai pajak aktif yang secara sembunyi-sembunyi bertindak sebagai konsultan dan bersekongkol dengan wajib pajak tertentu. Tujuannya adalah membuat skema supaya sang wajib pajak terhindar dari kewajiban membayar pajak dari nilai yang seharusnya.
Cara kedua, kata Yunus, adalah terjadi kongkalikong antara pegawai pajak dan wajib pajak saat mengajukan keberatan di pengadilan khusus pajak. “Mereka (wajib pajak) bisa mengajukan keberatan, terus ke pengadilan pajak, di situ dia katakanlah bermain dengan orang pajak yang menangani itu, kemungkinan besar ya posisinya lebih kuat,” ujar Yunus yang juga ahli hukum perbankan dan pidana.
Modus ketiga, lanjut Yunus, adalah negosiasi antara wajib pajak dan petugas terkait pajak terhutang. “Bisa juga dalam bentuk pajak-pajak terhutang itu dinegosiasikan. Yang seharusnya misalnya Rp 50 miliar, udah enggak usah bayar Rp 50 miliar lah. Bayar separuh saja. Nanti yang Rp 25 miliar dibagi dua. bisa juga yang lain lainnya. banyak sekali sebenarnya,” ucapnya
Kiranya banyak lagi cara acara lainnya yang bisa di ungkap terkait adanya transaksi mencurigakan yang diduga keras sebagai modus pencucian uang yang merugikan keuangan negara. Bahkan nilainya sebenarnya bukan hanya 349 triliun saja tapi lebih besar hanya saja belum terungkap semuanya.
Menurut Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu, terkait transaksi janggal Rp349 triliun di Kementerian Keuangan yang disinyalir sebagai tindak pidana pencucian uang, menurutnya nilainya tidak seberapa. Karena berdasarkan hitung-hitungannya, uang rakyat yang diselewengkan sebenarnya sudah tembus Rp4.000 triliun jumlahnya.
Jumlah ini merupakan akumulasi selama 8 tahun, uang dari Ditjend Pajak dan Bea Cukai yang tak masuk ke kas negara. “Perkiraan saya bahwa nilai pajak dan bea tidak masuk ke Negara selama 8 tahun sekitar Rp 4.000 triliun,” kata Said Didu dalam sebuah cuitan di akun twitternya dilansir Jumat (24/3/2023).
Pansus dan Tujuan Negara
Rencananya Komisi III DPR akan menggelar rapat dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pada 29 Maret 2023 mendatang. Seusai rapat tersebut, akan difinalisasi pembentukan panitia khusus (Pansus) terkait temuan transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) senilai Rp 349 triliun yang hingga kini masih menjadi tanda tanya.
Kalau kemudian nanti Pansus benar benar bisa diwujudkan, maka diharapkan akan bisa dijadikan sarana untuk mengungkap secara terang benderang misteri transaksi keuangan 349 triliun yang sampai sekarang masih belum jelas sosoknya. Harapannya kalau Pansus bisa bekerja dengan efektif sesuai harapan maka akan bisa dijadikan sarana untuk membantu aparat penegak hukum untuk segera menindaklanjutinya.
Dampaknya secara nasional jika kasus tersebut bisa diungkap dengan sebenar benarnya akan membuka kotak pandora untuk kasus serupa. Dimana sesungguhnya kalau bisa dibuka semuanya akan memberikan gambaran tentang betapa besarnya sesungguhnya pemasukan dana untuk mengisi kas negara. Hanya saja dana dana itu selama ini tidak pernah masuk ke pundi pundi negara karena diduga menjadi bancakan untuk memperkaya diri kelompok kelompok tertentu beserta kroni kroninya.
Maka menjadi teringatlah kita pada pernyataan mantan Abraham Samad, mantan Ketua KPK. pada tahun 2013 yang lalu dimana ia pernah mengatakan bahwa jika korupsi dan penyelewengan yang terjadi di sektor tambang saja bisa diberantas maka Indonesia bisa terbebas dari utang dan rakyat bisa gajian Rp20 juta tiap bulannya. Pada hal Indonesia bukan hanya punya tambang tapi juga kehutanan, perikanan, perkebunan dan yang lain lainnya.
Apa yang diungkapkan oleh Abraham Samad berkali kali pula di sampaikan oleh Menkopolhukam Mahfud MD dalam berbagai kesempatan untuk menguatkannya. Karena pada dasarnya tujuan dibentuknya negara ini adalah membuat rakyatnya bahagia, sejahtera sebagaimana amanat pembukaan Undang Undang Dasar 1945.
Kita bisa membayangkan betapa besarnya potensi pendapatan negara kita dari kekayaan sumberdaya alam yang luar biasa kayanya. Hanya saja saat ini meskipun bangsa Indonesia sudah 77 tahun merdeka, kekayaan alam itu belum bisa dinikmati oleh seluruh warga bangsa. Pendapatan yang mestinya masuk kas negara lewat pajak, cukai dan lain lainnya tidak sampai masuk pundi pundi negara sudah di tilep oleh oknum oknum pengkhianat bangsa.
Munculnya transaksi siluman 349 triliun yang seharusnya masuk ke kas negara tapi kemudian menguap entah kemana menjadi bagian kecil dari potensi pendapatan negara yang hilang karena adanya penyelewengan penyelewengan yang dilakukan oleh aparat yang semestinya mengamankannya.
Semoga saja Pansus 349 triliun yang rencananya akan dibentuk oleh DPR bisa mengungkap misteri tersebut yang pada gilirannya bisa membuat terang perkaranya dan di ujungnya bisa ikut menyelamatkan potensi kehilangan pendapatan negara.
Tentu saja semuanya hanya bisa diwujudkan manakala ada political will yang kuat dari elit bangsa untuk mewujudkannya. Termasuk aparat penegak hukum baik dari Kejagung, Kepolisian dan KPK. Tanpa kemauan yang kuat dari elite bangsa untuk mewujudkannya dikhawatirkan kasus ini akan kembali berlalu seperti kasus kasus sebelumnya yang hilang entah kemana. Kalau ini yang terjadi maka untuk yang kesekian kalinya rakyat Indonesia harus kembali mengurut dada. Kasihan ya….
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI