LANGKAR.ID, Banjarmasin – Ketika pasar musik arus utama hari ini sesak dengan para solois pop, musik senja, atau band-band 2000-an yang susah move on dari lagu-lagu lamanya, Primitive Monkey Noose (PMN) tetap melaju di jalurnya sendiri.
PMN merupakan kelompok musik yang otentik karena mereka berhasil memadukan agresivitas punk dan petikan panting (gitar tradisional Banjar).
Orisinalitas dan karakter dalam bermusik itulah yang membawa PMN ke “panggung yang lebih besar”. Tapi itu belum terjadi sebelum mereka membocorkan versi cover dari “Mahadang Ading” karya seniman Pagatan, Fadly Zour, pada September 2021 lalu.
Setelah Mahadang Ading selesai diproduksi dengan bantuan Prima Yuda Prawira sebagai produser, PMN seakan menjelma dari pria yang biasa-biasa saja menjadi sosok macho, cool, dan tidak hobi menyembah wanita melalui lirik atau puisi picisan.
Itulah yang kemudian membuat label besar seperti Sony Music Entertainment Indonesia tertarik dan langsung menawarkan kerja sama dengan PMN.
Kolaborasi itu diteken via virtual pada 25 Februari 2022. Dalam kontraknya, Sony akan membantu PMN dalam masalah distribusi multimedia dan digital.
Namun, sebelum keduanya benar-benar menjalin kerja sama, Sony Music sempat meminta beberapa lagu tambahan lagi dari PMN.
Permintaan itu disetujui. PMN kemudian menggarap beberapa lagu tambahan, di antaranya berjudul “Batulicin Youth Crew”, “Ayo, Keluar!”, dan”Jabat Erat”.
Deal! Kesepakatan pun terjadi.
A&R Sony Music Entertainment Indonesia, Franki Indraamoro, mengungkapkan PMN memiliki daya tarik karena memadukan komersialitas dengan unsur etnik khas daerah.
“Perpaduan ini membuat PMN cukup unik dan kami rasa bisa menarik perhatian para pendengar musik di Indonesia,” katanya.
Menyimak beberapa lagu mereka, karya musik PMN memang terdengar otentik, asyik, sekaligus menggelitik. Band beranggotakan Richie (vokal utama), Oveck (gitar, backing vokal), Denny (bass), Arif (panting), dan Juli (drumm) memainkan musik punk rock dengan nada optimisme yang kuat, penuh pesan-pesan kebersamaan, dan cinta dengan makna luas.
Meskipun progresi yang ditawarkan tidak bisa disebut baru, tapi PMN tetap memberikan kesegaran dalam meramu musiknya.
Apalagi dengan kehadiran panting, alat musik tradisional Banjar, yang dijadikan highlight di PMN. Panting yang biasanya dimainkan bersama suling, kendang, atau gong, kini dikolaborasikan dengan distorsi gitar Oveck, betotan bass Denny, dan gebukan drum Juli.
Urusan menulis lagu, vokalis PMN, Richie Petroza, adalah tipe orang yang seringkali terkesan tidak konseptual, nggak banyak mikir.
Ada positif dan negatifnya, tentu saja. Di satu sisi, PMN bisa berkarya kapan saja, di mana saja, tanpa peduli selera kebanyakan orang. Tapi di sisi lain, pendengar akan menemukan sesuatu, terutama notasi, yang sudah sangat familier sejak puluhan tahun yang lalu.
Tapi cara Richie itu terbukti berhasil. Buktinya beberapa lagu ciptaannya sama sekali tidak ‘dikoreksi’ oleh Sony Music. “Saya bilang waktu itu, ‘ini musik kami, diterima atau tidak, ya, monggo.” Misalnya, cara menyanyi Richie pada lagu-lagu PMN.
Dia menyebut cara bernyanyinya sebagai punk rasa Banjar. “Nada menyanyi saya ambil dari cara menyanyi orang Banjar,” ucapnya.
Terkait kerja sama bareng Sony Music, Richie berkata itu merupakan sesuatu yang membanggakan. “Kapan lagi band dari kota kecil seperti kami dirilis Sony. Mungkin kami band punk satu-satunya di Kalsel yang dirilis Sony Music,” komentarnya.
Berbeda dengan roots punk rock yang cenderung urakan dan antikemapanan, PMN justru tidak menyajikan lirik berisi pesan-pesan pemberontakan, tak ada protes soal ketidakadilan, atau sentilan kepada Lord Luhut, misalnya. Barangkali karena mereka, terutama Richie, adalah musisi yang anti oposisi.
Personel lainnya pun justru banyak yang hidup mapan. Di Batulicin, sebuah kota industri yang nyaris tak pernah masuk peta musik nasional, tak ada personel PMN yang menganggur atau resah karena baru dipecat dari perusahaan.
Mereka punya usaha sendiri-sendiri, punya studio latihan sendiri, dan punya rooftoop pribadi untuk nge-band. Ini adalah band punk yang semua personelnya tak pernah mengeluh kehabisan duit. Sungguh, ini punk yang antimainstream.