Penulis: Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
Hingga saat ini, Desa Wadas di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, masih menjadi agenda pemberitaan media massa. Desa itu menjadi terkenal karena munculnya kasus pertanahan yang terjadi disana.
Polemik di Desa Wadas bermula dari rencana penambangan batu quary andesit yang digunakan untuk kepentingan pembangunan proyek Bendungan Bener yang sejak 2016-2017 sudah dimulai proses sosialisasinya.
Proyek ini, merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan diklaim menjadi bendungan tertinggi di Asia Tenggara.
Mega proyek bendungan dengan nilai investasi lebih dari Rp 2,06 Triliun itu, akan memiliki kapasitas debit air 100 juta meter kubik.
Proyek ini, diproyeksikan menampung air baku 1500 liter per detik. Serta menopang Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebesar enam megawatt (6MW).
Lokasi proyek ini direncanakan pada sebuah tempat yang berjarak sepuluh kilometer (10 km) dari Desa Wadas dengan kondisi berlereng atau naik-turun konturnya.
Meskipun pembangunan bendungan Bener sudah direncanakan cukup lama, namun pelaksanaannya tidak berjalan mulus sesuai rencana.
Puncaknya ditandai hadirnya ratusan personil Polisi bersenjata lengkap yang masuk ke Desa itu untuk mengamankan proses pengukuran tanah di sana.
Kalau lazimnya mengukur tanah itu menggunakan alat ukur yaitu meteran sebagai sarananya, tapi kali ini proses ukur tanah itu membawa serta ratusan polisi untuk mengamankannya.
Kericuhan terjadi karena sebagian warga Wadas menolak kehadiran mereka. Fenomena ini memunculkan tanda tanya tentang apa yang terjadi di Desa Wadas sebenarnya.
Mengapa sebagian besar warga Desa Wadas menolak penambangan batu andesit yang ada di Desanya?
Apakah secara yuridis formal warga Wadas memang berhak untuk menolak tambang yang ada di wilayahnya?
Apakah penyelundupan hukum bisa menjadi penyebab kandasnya penambangan disana?
[nextpage title=”Mereka Menolak”]
Mereka Menolak
Hiruk pikuk di Desa Wadas mendorong Komisi III DPR RI mengunjungi daerah tersebut untuk melihat kondisi nyata yang ada disana.
Kunjungan pada 10 Pebruari 2022 itu telah mendapatkan informasi tentang situasi dan kondisi yang ada. Termasuk bagaimana sikap masyarakat Wadas dalam merespons rencana penambangan batu andesit yang ada di desanya.
Pada dasarnya, sikap warga terbelah menjadi dua. Yaitu mereka yang setuju alih fungsi lahannya untuk area penambangan dan ada pula yang menolaknya. Meskipun ada warga yang setuju, namun belum jelas pula bagaimana pembicaraan mengenai ganti ruginya.
Adanya dua kubu ini muncul istilah yang berbeda. Pemerintah menyebut terbelahnya aspirasi warga Wadas menyikapi adanya pertambangan itu sebagai “gesekan” atara warga desa. Tetapi para aktivis menyebutnya sebagai “pembungkaman” atas masyarakat yang menolaknya.
Menurut Siswanto (3) salah satu warga Wadas seperti dikutip media menyatakan bahwa 20 persen warga yang setuju dengan proyek tersebut, sebagian besar bukan warga Desa Wadas asli. Hanya sedikit yang memiliki tanah di lokasi penambangan di desanya.
Sebelumnya, LBH Yogyakarta yang menjadi pendamping hukum warga Wadas juga mengatakan, bahwa 80 persen warga menolak tambang batu andesit di wilayah mereka. Angka ini diungkapkan oleh Kepala Divisi Advokasi LBH Yogyakarta Julian Duwi Prasetia, Kamis (10/02/2022).
Diketahui, Desa Wadas terdiri dari 11 dusun dimana tujuh dusun di antaranya masuk daerah terdampak penambangan. Termasuk dusun tempat Siswanto tinggal: Dusun Randuparang. Dari 11 dusun ini, delapan dusun menolak kehadiran tambang di desanya.
Dhanil Al Ghifari dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta seperti dikutip media mengatakan, jika sejak awal sosialisasi, konsultasi publik hingga keluarnya Izin Penepatan Lokasi (IPL), secara tegas warga Wadas menyatakan menolak rencana penambangan kuari di desa Wadas.
“Kita patut apresiasi perjuangan warga. Sampai saat ini masih tetap semangat, kompak dalam menjaga ruang hidup dan lingkungannya,” tandasnya.
Siswanto salah satu pemuda Wadas menceritakan rentetan kronologis awal masuknya rencana penambangan kuari hingga upaya warga Wadas untuk memperjuangkan ruang kehidupannya dari perusakan lingkungan yang terjadi di desanya.
Mulanya, tahun 2015 mulai dilakukan pengeboran di beberapa titik di Desa Wadas dengan dalih penelitian. Kegiatan serupa juga dilakukan pada tahun 2016.
Siswanto menuturkan, jika sejak awal penelitian yang dilakukan sudah menuai penolakan dari warga Wadas. “Sejak proses penelitian sama beberapa sudah ditolak,” ujarnya.
Siswanto melanjutkan, melalui Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) warga mengupayakan berbagai cara agar tidak terjadi penambangan di Desa Wadas.
Namun, pemerintah terus melakukan tahapan-tahapan berupa sosialisasi rencana penambangan pada tahun 2017 dan warga memutuskan untuk menolak rencana penambangan.
Setelah sosialisasi, warga Wadas mendatangi Kecamatan Bener untuk bertemu Camat. Di kecamatan, warga Wadas menanyakan bagaimana proses penolakannya.
Kemudian, Camat Bener menyarankan untuk audiensi dengan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak selaku pemrakarsa Proyek Bendungan Bener.
Namun, setelah warga menyampaikan alasan penolaknya, pihak BBWS malah melanjutkan konsultasi publik terhadap warga Wadas dan dengan tegas warga Wadas menyampaikan komitmenya untuk tetap menolak penambangan di desanya.
Selang beberapa bulan kemudian dari konsultasi publik BBWS, didapati surat kabar bahwa dalam prosesnya pihak pemrakarsa sudah menentukan penentuan lokasi di desa Wadas sebagai lokasi penambangan kuari untuk menyokong bahan material Pembangunan Bendungan Bener, Purworejo.
Dhanil membenarkan cerita Siswanto tersebut. Bahwa memang Warga Wadas sudah mengupayakan tindakan penolakan melalui audiensi.
Dhanil menuturkan, sejak awal warga Wadas melakukan penolakan tidak memandang rencana pertambangan sebatas persoalan tanah dan besaran ganti rugi yang bakal didapatkan, melainkan persoalan sumber kehidupannya.
Pasalnya 90 persen lebih, warga Wadas menggantungkan hidupnya dari perkebunan disekitar desanya. Terutama pada komoditas pertanian seperti durian, kemukus, aren, kelapa dan lain sebagainya yang menjadikan sumber kehidupan warga.
“Ketika warga kehilangan tanahnya, berarti juga kehilangan kehidupannya,” tuturnya.
Lebih lagi, kesadaran warga Wadas akan pentingnya menjaga lingkungan menjadi salah satu alasan kenapa mereka menolak penambangan di desanya.
Dhanil menuturkan bahwa letak geografis Desa Wadas yang berada di daerah pegunungan. Terdapat 27 sumber mata air yang bisa ditemui dan menjadi penyuplai kebutuhan air sehari-hari warga desa.
Dengan demikian penolakan warga Wadas atas rencana pertambangan tersebut karena diduga pertambangan ini dapat mengancam kelestarian lingkungan hidup dan mata pencaharian masyarakat desa.
Menurut masyarakat setempat, bagaimana mungkin Wadas dapat menjadi lokasi tambang. Sedangkan desa yang lain yang lebih dekat posisinya dengan Bendungan Bener justru luput dari upaya untuk mengeksploitasinya.
Desa Wadas kabarnya pernah mengalami longsor dan banjir pada 1988 dan mengakibatkan bencana besar. Sehingga masyarakat kemudian melakukan mitigasi bencana secara swadaya.
Dalam arti kata masyarakat setempat meninggalkan kegiatan pertanian yang dapat merusak lingkungannya.
Selain itu, masyarakat merasa bahwa kegiatan penambangan dikuatirkan tidak hanya ditujukan di hutan yang menjadi ladang pertanian mereka. Namun juga pemukiman warga.
Warga juga menilai, mereka akan kehilangan sumber air dan cocok tanam mereka ke depannya.
Iming-iming ganti rugi yang ditawarkan tidak sebanding dengan penghasilan cocok tanam mereka. Seperti tanaman durian, kopi, cengkeh, kencur, temulawak, pohon aren, dan kemukus, yang menjadi potensi besar di desanya.
Mereka juga menilai, penambangan quarry dianggap cacat subtansi. Karena tidak sesuai dengan Pasal 61 Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Purworejo Tahun 2011-2031 yang menyatakan Kecamatan Bener tidak mengandung batuan andesit.
Selain itu dalam Pasal 42 dinyatakan bahwa Kecamatan Bener sering terjadi longsor sehingga dikategorikan sebagai kawasan Rawan Bencana .
IPL penambangan quarry di Desa Wadas juga dianggap tidak memperhatikan kelestarian sumber mata air yang ada di sana. Pada hal kegiatan rencana pertambangan batuan andesit berpotensi menghancurkan 28 sumber mata air yang ada.
IPL ini juga dinilai melanggar Undang-Undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan air dan Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo.
Alasan lain warga Wadas menolak tambang tersebut juga karena mereka berpegang teguh pada ajaran agamanya. Bahwa menjaga tanah lingkungan sama dengan menjaga agama yang dianutnya.
Perlu ditekankan di sini, bahwa yang ditolak warga Wadas bukan proyek bendungan Bener melainkan rencana penambangan batu andesit yang ada di desanya.
Hal ini perlu ditekankan supaya tidak muncul kesan seolah olah warga Wadas yang menolak pertambangan itu sama artinya dengan menolak proyek bendungan Bener karena pernyataan ini memiliki makna yang berbeda
“Nah kalau untuk bendungannya sendiri sebenarnya warga gak peduli gitu, mau bangun bendungan, mau bangun candi, mau bangun apa silakan. Tapi jangan ada penambangan di Wadas,” ujar Dhanil seperti dikutip oleh CNNIndonesia.com, Kamis (10/02/2022).
[nextpage title=”Apakah Penolakan itu Dibenarkan?”]
Apakah Penolakan itu Dibenarkan?
Berdasarkan hasil kunjungan Komisi III DPR RI dimana saya termasuk di dalamnya, menemukan fakta bahwa Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah bukan merupakan bagian dari proyek strategis nasional (PSN).
Karenanya, masyarakat berhak untuk menolak adanya kegitan pengukuran tanah maupun penambangan di daerahnya.
Yang merupakan PSN adalah pembangunan Bendungan Bener di luar Desa Wadas Kabupaten Puworejo. Sedangkan batuan andesit yang hendak di tambang di Desa Wadas sifatnya hanya supporting.
Artinya pelaksana pembangunan Bendungan Bener harusnya hanya membeli batuannya saja bukan membeli tanah dari masyarakat yang membuat masyarakat tercerabut dari akarnya.
Jadi seharusnya Proyek yang melaksanakan penambangan membeli batu itu dari masyarakat, bukan membeli tanah warga. Lantaran bukan termasuk dalam PSN itulah, maka masyarakat Desa Wadas berhak menolak kegiatan pengukuran tanah untuk penambangan di wilayahnya.
Oleh karenanya, jika ada anggapan terhadap masyarakat yang menolak sama dengan melawan pembangunan itu, merupakan pemikiran yang salah kaprah. Karena yang ditolak masyarakat Wadas itu bukan proyek bendungan, tapi penambangan di desanya.
Untuk menghindarkan konflik, persetujuan masyarakat atas pemberian izin usaha pertambangan seharusnya dijadikan syarat awal ketika daerah tersebut ditetapkan sebagai kawasan tambang oleh pihak yang berwenang memberikan persetujuannya.
Persetujuan itu harus diberikan langsung oleh masyarakat sekitar, tidak dapat diwakili pemerintah daerah atau DPRD atau yang lainnya.
Selama ini atas nama pembangunan, persetujuan masyarakat banyak yang “dimanipulasi” sedemikian rupa demi mulusnya sebuah pembangunan atau investasi yang telah direncanakan oleh mereka yang punya kuasa.
Masyarakat yang menolak pembangunan itu lalu “dikriminalisasi” karena mempertahankan hak hak atas tanah yang dimilikinya.
Mereka umumnya dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dalam KUHP atau dengan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Praktek praktek seperti ini sebenarnya sudah lama terjadi dan hampir selalu berulang untuk yang kesekian kalinya. Dulu pada zaman pemerintah Orde Baru, penguasa saat itu bersikeras membangun waduk Kedung Ombo, meski merugikan petani yang lama tinggal di sana.
Mereka yang menolak selain diperlemah secara hukum, citra PKI tak lupa dilekatkan kepada warga .
Di Kedung Ombo, petani yang membangkang untuk menyerahkan tanahnya, dicap sebagai PKI dengan cara diberi kode ET di KTP mereka, padahal mereka adalah petani yang sudah sejak lama bersih dari identitas PKI dan anasir- anasirnya.
“Bahkan, Presiden Soeharto sendiri dalam pidatonya saat pembukaan Waduk Kedung Ombo mengatakan dirinya memahami bahwa orang atau warga yang tidak mau menerima pembangunan Waduk Kedung Ombo disusupi oleh komunis,” tulis Ikrar Nusa Bhakti dalam Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru: Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli (2001: 280).
Kasus Desa Wadas dan Kedung Ombo bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya sudah ada kasus Kendeng wilayah Kabupaten Tuban yang juga mendapatkan penolakan dari masyarakat di sana.
Penolakan-penolakan seperti ini, seharusnya direspon secara bijak sebagai wujud penghargaan dan penghormatan negara kepada mereka sebagai warga bangsa.
Sebagai wujud penghargaan dan pengakuan hak-hak masyarakat, maka seyogyanya masyarakat sekitar pertambangan dilibatkan untuk memberi persetujuan atas usaha tambang di wilayahnya.
Persetujuan ini bukan cuma di tahapan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), tetapi sejak pemerintah menetapkan kawasan tersebut sebagai daerah tambang sehingga tergambar nuansa partisipatifnya. Masyarakat berhak menolak jika penambangan itu akan merugikan mereka.
Selama ini, persetujuan masyarakat baru diminta saat izin pertambangan sudah diberikan ke pengusaha sehingga sulit bagi masyarakat untuk menolaknya.
Pemberian persetujuan masyarakat harus dilakukan secara langsung, melalui referendum lokal (musyawarah). Seperti yang dilakukan di Guatemala dan Argentina. Persetujuan rakyat tidak dapat diwakilkan melalui DPRD atau pemerintah daerah karena sarat kepentingan pribadi mereka.
Proses yang bersifat partisipatif dan manusiawi ini nampaknya tidak terlalu menjadi perhatian dalam pelaksanaan PSN bendungan Bener dan penambangan di desa Wadas.
Fenomena ini sangat mungkin terjadi sebagai dampak dari pelaksanaan proyek strategis nasional yang merupakan bagian dari implementasi Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Disini terlihat betapa digdayanya pemerintah dan penguasa setelah Undang-undang Omnibus Law disahkan. Khususnya ketika pemerintah menetapkan suatu wilayah sebagai lokasi PSN.
Maka sejak itu masyarakat nyaris tidak dapat berbuat apa pun jua. Kasus Wadas ini bisa menjadi contoh bagaimana keadaan masyarakat tidak pernah dilihat, dan dianggap setuju setuju saja dengan proyek yang menjadi kehendak penguasa.
Menurut Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, sumber masalah kasus Wadas ada pada Omnibus Law UU Cipta Kerja yang menjadi akselerasi dari Proyek Strategis Nasional (PSN).
“PSN itu terkesan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Tapi, ujungnya adalah kepentingan investasi yang hanya menguntungkan investor asing dan pengusaha. Pembangunan hanya jadi kedok belaka,” ujarnya seperti dikutip media.
[nextpage title=”Penyelundupan Hukum”]
Penyelundupan Hukum
Selain dugaan adanya pelanggaran hak azasi manusia (HAM) di Desa Wadas, pembangunan PSN seperti Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo ini juga diwarnai dugaan praktek-praktek penyelundupan hukum dalam pengerjaannya.
Penyelundupan hukum diduga dilakukan oleh pemrakarsa untuk menyederhanakan proses dan efisiensi dalam pengerjaannya.
Seperti telah disampaikan sebelumnya, rencana penambangan batu andesit di Desa Wadas bukanlah bagian atau satu kesatuan dari pembangunan Bendungan Bener, yang masuk ke dalam kategori PSN.
Berdasarkan hasil kajian ahli dan AMDAL PUPR memutuskan bahwa lokasi penambangan batu andesit di Desa Wadas, karena paling dekat dengan lokasi pembangunan Bendungan Bener. Sekitar 10 -15 KM saja jaraknya.
Karena pertimbangan jarak Desa Wadas dengan lokasi pembangunan Bendungan Bener yang cukup dekat inilah kiranya yang kemudian membuat pemerintah tak memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Purworejo. Kemudian melakukan sejumlah upaya penyelundupan hukum untuk memuluskan proyek yang dicanangkan.
Caranya adalah dengan memasukkan IPL penambangan batu di Wadas, menjadi bagian dari rencana kegiatan PSN Bendungan Bener. Agar terkesan bahwa penambangan batu andesit adalah bagian yang tak terpisahkan dengan pembangunan Bendungan Bener. Padahal ini dua hal yang terpisah satu dengan yang lainnya.
Melalui izin pelaksanaan pekerjaan atau IPL yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, pemerintah seolah menghalalkan segala cara untuk PSN Bendungan Bener bisa segera terlaksana dan selesai sesuai target yang telah ditetapkannya.
Dugaan penyelundupan itu, terlihat pada buku Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Pembangunan Bendungan Bener yang dijadikan satu dengan penambangan quarry di Desa Wadas.
Padahal apabila mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 tahun 2012 tentang Jenis Usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL. Seharusnya pemotongan bukit dengan besaran volume lebih dari 500.000 m3, wajib menggunakan AMDAL tersendiri. Tidak digabung dengan kegiatan lainnya.
Selain itu proses penyusunan AMDAL seharusnya juga dilakukan secara partisipatif sesuai dengan ketentuan yang ada.
Padahal, prosedur untuk melibatkan elemen masyarakat sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menyatakan bahwa dalam proses AMDAL dan izin lingkungan, dimana masyarakat wajib dilibatkan dalam prosesnya.
Tapi dalam tataran praktis, warga Wadas tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan AMDAL sampai dengan keluarnya Izin Penetapan Lokasi (IPL) oleh penguasa.
Karena AMDAL penambangan di Desa Wadas tidak dibuat tersendiri. Maka tidak ada izin eksplorasi dan izin operasi produksi penambangan quary di Desa Wadas.
Justru rencana penambangan di Wadas malah dijadikan satu dengan proyek pengadaan tanah oleh pemerintah.
Padahal, jika mengacu pada UU Nomor 2 tahun 2012, pertambangan tidak masuk dalam proses pengadaan tanah, seharunya terpisah, sebab ada izin tersendiri berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi sampai dengan izin operasi dan ijin produksinya.
Terkait dengan adanya dugaan cacat hukum pembangunan bendungan Bener dan penambangan batu andesit di desa tersebut, warga Wadas melakukan penolakan dengan berbagai cara seperti pemasangan spanduk dan mural yang bernada protes yang diduga hingga ratusan jumlahnya.
Mereka juga mengadakan doa bersama agar proyek tambang dapat dibatalkan kelanjutannya. Warga juga kemudian sempat menggugat Gubernur Jawa Tengah (SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo tertanggal 7 Juni 2021) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang namun ditolak dalam putusan hakim (Perkara No 68/G/PU/2021/PTUN.SMG/30 Agustus 2021).
Saat itu Gerakan Masyarakat Desa Wadas (Gempadewa) mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun sayangnya hingga tingkat kasasi, gugatan tersebut ditolak oleh MA.
Dengan adanya penolakan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengklaim, pemerintah tidak melanggar hukum dalam pembangunan Bendungan Bener dan penambangan batu andesit di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Oleh karena itu, menurut Mahfud, penolakan warga atas pembangunan dan penambangan tersebut tidak akan berpengaruh secara hukum.
“Penolakan sebagian masyarakat tidak akan berpengaruh secara hukum, karena tidak ada pelanggaran hukum pada acara pembangunan atau penambangan batu andesit di Desa Wadas,” kata Mahfud dalam konferensi pers, seperti dikutip harian Kompas Kamis (10/02/2022).
“Artinya program pemerintah sudah benar, sehingga kasusnya sudah lama inkrah atau berkekuatan hukum tetap. Demikian pula instrumen yang disebut analisis dampak lingkungan (Amdal) sudah terpenuhi. Tidak ada masalah yang dilanggar,” kata dia seperti dikutip media.
Berbeda dengan Mahfud MD, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai proyek pembangunan bendungan dan penambangan tersebut justru melanggar aturan dan harus dihentikan.
Pasalnya, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait UU Cipta Kerja memerintahkan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.
“Presiden harus mampu menunjukkan sikap patuh terhadap hukum,” kata Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Fanny Tri Jambore kepada wartawan, Selasa (08/02/2022).
Fanny mengatakan, implikasi dari Putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020 seharusnya membuat proyek strategis nasional (PSN) dihentikan, termasuk proyek pembangunan Bendungan Bener.
Ia mengingatkan, kegiatan untuk PSN yang menyandarkan pada Undang-undang Cipta Kerja ditangguhkan berdasarkan Putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020.
“Kegiatan pengadaan tanah untuk quarry Bendungan Bener mestinya dihentikan sebagaimana seluruh PSN yang harus ditangguhkan terlebih dahulu,” ungkapnya.
Senada, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga menilai pengukuran tanah Desa Wadas oleh Badan Pertanahan Nasional untuk pembangunan bendungan tersebut harus dihentikan karena cacat hukum.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Bagi Pembangunan, aktivitas pertambangan tidak masuk dalam bagian kepentingan umum.
Namun, pemerintah mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya yang inkonstitusional, menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum terhadap kegiatan pertambangan.
Dalam hal ini, KPA menilai pemerintah telah sesat berlogika hukum dan melakukan suatu tindakan melawan hukum. KPA juga menegaskan, pelaksanaan PSN seharusnya dilakukan tanpa menghilangkan hak-hak rakyat atas tanah dan ruang hidup mereka.
Dia menilai kasus pengukuran tanah di Desa Wadas ini sudah mengarah kepada tindakan perampasan tanah rakyat yang bersifat memaksa dengan dalih proyek-proyek pembangunan strategis untuk kepentingan nasional.
“Kami menilai, apa yang terjadi di Wadas bukan lagi proses pembangunan PSN yang seharusnya dilakukan dengan menjunjung tinggi hak-hak konstitusi warga negara, mengedepankan prinsip musyawarah,” ujarnya.
Berdasarkan gambaran sebagaimana dikemukakan di atas, secara yuridis formal perjuangan warga Wadas secara hukum untuk menolak penambangan di Desanya telah “dikandaskan” oleh MA dengan ditolaknya kasasi mereka.
Tetapi di sisi lain ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait UU Cipta Kerja yang memerintahkan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas termasuk rencana penambangan di Desa Wadas tentunya.
Dualisme keputusan hukum yang saling bertentangan tersebut kiranya perlu di carikan solusinya. Patut direnungkan pula bahwa hukum itu berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis sebagai dasar pertimbangannya.
Secara sosiologis misalnya patut dikaji ulang apa dasar keputusan MA untuk menolak gugatan warga Wadas atas adanya penambangan yang ada di wilayahnya.
Jika mengingat 80 persen dari warga Wadas memang menolak tambang di desanya. Harusnya fakta ini dijadikan dasar pertimbangan dalam keputusannya.
Jangan sampai hukum dijadikan alat kekuasaan untuk menjalankan agenda- agenda yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Melainkan hanya untuk kepentingan penguasa dan pengusaha belaka.
Akankah pembangunan PSN bendungan Bener yang mengaitkan dengan penambangan batu andesit di Desa Wadas akan mengulang sejarah kelam pembangunan masa lalu yang sarat pelanggaran hukum dan pelanggaran hak azasi manusia?
Dalam hal ini, kita berharap agar Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah (Gubernur), Badan Pertanahan Nasional, dan Balai Besar Wilayah Sungai dapat mencarikan solusi dengan sebaik baiknya.
Pihak terkait tersebut bisa melakukan kajian, evaluasi dan penghitungan kembali akan kebutuhan dan sumber batu kuari andesit sebagai penunjang pembangunan Bendungan Bener sebagai proyek utamanya.
Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan kembali lokasi-lokasi sumber batu andesit yang dapat dilakukan pengalihan hak agar sesuai dengan kebutuhan dan mengurangi risiko protes atau penolakan warga. Khususnya warga Wadas yang sudah jelas jelas menolak kehadiran tambang di wilayahnya.
Kalau batu andesit itu bisa diperoleh dari daerah lainnya di luar desa Wadas, maka seyogyanya bebatuan itu diambilkan dari sana. Jika lokasi sumber batu andesit itu bisa ditemukan di daerah lainnya tapi pemrakarsa ternyata masih terus ngotot untuk menambang di Desa Wadas, maka patut dipertanyakan motivasinya.
Mengapa harus memaksakan diri untuk tetap ngotot mengambil batu andesit dari Desa Wadas yang jelas jelas ditolak warga?
Mungkinkah ada pemilik modal /cukong (berkolaborasi dengan penguasa) yang mendompleng PSN bendungan Bener untuk mengeruk keuntungan sebesar besarnya dengan menambang di Desa Wadas yang memang kaya potensinya?
Kalau memang ada siapakah kira-kira mereka?