Oleh : Mohammad Effendy – Forum Ambin Demokrasi
LANGKAR.ID,BANJARMASIN – Andrey Hepburn membuat ungkapan yang menggetarkan hati dengan suatu pernyataan; “Tidak ada yang lebih penting daripada empati ku terhadap penderitaan sesama manusia. Tidak ada. Bukan karir, bukan kekayaan, bukan kecerdasan, apalagi status. Kita harus saling merasakan jika kita ingin bertahan hidup dengan bermartabat “.
Empati adalah bagian dari penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan dalam akar budaya bangsa kita ia dikenal dengan istilah “senasib-sepenanggungan”. Masyarakat kita dalam rentang waktu yang panjang telah mempraktekan hal tersebut dalam interaksi sosial baik dalam komunitas sendiri maupun antar komunitas. Akar budaya itulah yang kita angkat bersama dalam jargon politik “bhinneka tunggal ika”.
Pemahaman terhadap empati tentu saja tidak hanya terbatas pada hubungan antar orang atau antar kelompok, namun sekarang ini harus diperluas agar meliputi juga hubungan antara Pemerintah dengan rakyatnya. Pejabat Pemerintah yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan pada tataran kebijakan harus mempertimbangkan secara sungguh-sungguh dampak yang terjadi jika ia membuat keputusan yang berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak.
Suatu kebijakan publik dirancang dan kemudian diputuskan tidak saja melalui kajian yang komprehensif dengan sajian data yang valid, tetapi di dalamnya juga terkandung empati terhadap nasib rakyat. Menteri yang secara mendadak mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan “distribusi gas” sehingga berakibat menjadi barang yang susah dicari padahal ia yang secara nyata dan faktual diperlukan rakyat banyak, maka tindakan tersebut jelas tidak mengandung empati.
Pejabat publik kita tidak berusaha menyediakan waktu dan kesempatan untuk sesekali melihat kehidupan rakyat di pinggiran kota serta di kampung-kampung yang “kumuh”, hidup dalam penderitaan dan kemiskinan. Mereka bertahan hidup dengan perjuangan panjang dan berat dari hari ke hari tanpa ada kepastian kapan nasib mereka berubah.
Jika masih ada waktu untuk datang, pejabat kita itu hanya sampai pada acara seremonial di bawah tenda yang nyaman. Tidak ada pemandangan gubuk reyot yang tidak layak huni atau fasilitas umum yang buram, tidak terlihat wajah sayu dengan badan kurus kurang gizi, atau anak-anak telanjang dada yang tidak memiliki masa depan.
Sementara sebagian petugas yang berada di lapisan bawah sudah tidak lagi memikirkan empati karena mereka begitu teganya “memeras” uang recehan dari rakyat kecil yang tidak berdaya. Padahal “uang recehan” tersebut diperoleh rakyat kecil melalui perjuangan berat dengan cucuran keringat seharian penuh agar dapat menghidupi isteri dan anaknya yang menunggu dengan lapar dan penuh harap.
Gambaran yang memilukan tersebut ada di sekitar kita dan kondisi itu juga sudah sering ditayangkan di media sosial. Akan tetapi mengapa ia tidak juga dapat menggugah hati para pengambil kebijakan. Politisi kita yang menduduki gedung wakil rakyat juga tidak terbuka hatinya untuk memperjuangkan nasib orang-orang yang tidak berdaya tersebut, sebaliknya politisi itu berjuang keras untuk nasib mereka sendiri.
Berjuang untuk mengembalikan modal yang dulunya digunakan untuk “membeli” suara rakyat miskin tersebut. Kebijakan publik yang dirancang hanya untuk memenuhi kepentingan segelintir orang, sementara rakyat dibiarkan hidup dalam kemiskinan dan penderitaan, maka kebijakan tersebut telah mengenyampingkan empati. Tindakan tanpa empati berarti telah mencabik-cabik akar budaya yang sudah lama kita jaga dan rawat bersama.
Mengutip ungkapan Andrey Hepburn di atas, empati menunjukkan harkat dan martabat seseorang baik warga biasa apalagi “pejabat publik”. Mereka yang kehilangan empati berarti telah mengikis jatidirinya – menjadikan hidupnya kosong tanpa makna.
Jika memudarnya empati telah menjalar kesemua pejabat yang memegang amanah untuk menyelenggarakan kepentingan rakyat banyak, maka itu berarti kita sedang mempertaruhkan harkat dan martabat bangsa.(007)