LANGKAR.ID, Banjarmasin – Bangsa dan negara Indonesia punya sejarah peristiwa kelam yang tak boleh terulang. Peristiwa itu, Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia (G 30S/PKI).
Kekejaman PKI di tahun 1965 itu, membuat banyak korban berjatuhan. Termasuk para Pahlawan Revolusi.
Upaya menentang PKI, sebetulnya sudah ada jauh sebelum peristiwa itu terjadi. Karena, sebelum 1965, PKI juga memberontak di Madiun, Jawa Timur pada 1948.
Paham komunis yang dianut PKI, juga bertentangan dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama. Sehingga, banyak pertentangan di masyarakat.
Seperti di banyak daerah, perlawanan terhadap PKI juga terjadi. Tanggal 22 Agustus 1960, Hasan Basry selaku Penguasa Perang Daerah (Peperda) Kalimantan Selatan (Kalsel) mengeluarkan surat pembekuan kegiatan PKI dan ormas-ormas pendukungnya.
Presiden Sukarno rupanya tak berkenan dengan tindakan Hasan Basry. Bung Karno membutuhkan PKI yang menjadi salah satu pilar dalam konsep Nasakom Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom) yang dicetuskannya tahun itu.
Presiden pun menegur Hasan Basry. Namun, mantan Pangdam X/Lambung Mangkurat kelahiran 1923 itu, enggan menganulir keputusannya. Bahkan tindakannya diikuti otoritas militer di Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan.
Peristiwa itu, lantas dikenal dengan sebutan Tiga Selatan (Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan).
[nextpage title=”Panglima Teguh Pendirian”]
Saat rapat Ketua Peperda se-Indonesia pada November 1960, Hasan Basry diminta Sukarno menjelaskan penolakannya mencabut pembekuan PKI di Kalsel.
Alex Dinuth (1997) dalam Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI menyebutkan, sempat terjadi perdebatan antara kedua tokoh tersebut. Tapi Hasan Basry tetap bersikukuh kepada keputusannya.
Selanjutnya, presiden kembali meminta Hasan Basry untuk patuh. Bahkan sampai dua kali. Tapi lagi-lagi tidak digubris. Posisinya cukup kuat, karena saat itu ia juga duduk sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPR-S).
Akhirnya, diputuskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Peperda Tiga Selatan, akan diambil-alih sendiri oleh Soekarno selaku Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) untuk penyelesaiannya (Hariyono, Penerapan Status Bahaya di Indonesia, 2008).
PKI akhirnya bisa beraktivitas lagi di tiga daerah itu pada 1961. Namun, Sukarno tampaknya masih kesal terhadap “pembangkangan” Hasan Basry. Dalam Pidato Kenegaraan saat peringatan hari kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1962, Bung Karno meluapkan kemurkaannya:
“…masih ada satu daerah, yang di situ itu belum dapat dibentuk Front Nasional Daerah karena adanya orang-orang yang Komunisto Phobi. Kepada mereka itu saya berkata: Suatu hari akan datang yang saya melihat segala usahamu gagal. Dan mungkin satu hari akan datang, yang engkau harus menebus kejahatanmu itu di dalam penjara, atau tiang penggantungan!” (Soekarno, Tahun Kemenangan [A Year of Triumph], 1962).
[nextpage title=”Tokoh Proklamasi Kalimantan”]
Lantas, bagaimana nasib Hasan Basry selanjutnya lantaran berkonfrontasi langsung dengan Sukarno sang presiden?
Ternyata, ia tetap baik-baik saja. Statusnya sebagai anggota MPR-S, ditambah dukungan penuh dari sebagian besar publik Kalimantan, tampaknya menjadi benteng pelindung yang cukup ampuh bagi Hasan Basry.
Tanggal 17 Mei 1961, bertepatan dengan peringatan Proklamasi Kalimantan yang dulu dicetuskan Hasan Basry pada 17 Mei 1949, segenap elemen masyarakat dan militer Borneo menetapkannya sebagai Bapak Gerilya Kalimantan.
Pengangkatan tersebut didukung oleh parlemen daerah yakni DPR-GR Daerah Tingkat II Hulu Sungai Utara, yang pada 20 Mei 1962 mengukuhkan Hasan Basry sebagai Bapak Gerilya Kalimantan.
Pengukuhan itu, melalui surat keputusan resmi. (Artum Artha & ‎Syamsiar Seman, Hassan Basry Bapak Gerilya Kalimantan Pejuang Kemerdekaan, 1999). Hasan Basry memang pencetus Proklamasi Kalimantan pada 17 Mei 1949.
Proklamasi itu menegaskan, Kalimantan bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI. Saat itu, sesuai Perjanjian Linggarjati, Kalimantan dinyatakan tidak termasuk wilayah RI karena yang diakui Belanda secara de facto hanya Jawa, Madura, dan Sumatera.
Hasil kesepakatan di Linggarjati itu ditentang oleh Hasan Basry dengan menyerukan Proklamasi Kalimantan 1949 (Ramli Nawawi, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Kalimantan Selatan, 1991).
Lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan pada 17 Juni 1923, Hasan Basry adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Gelar tersebut, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No 110/TK/2001 tanggal 3 November 2001. (L008)u
Sumber: tirto.id dan wikipedia