Oleh : Mohammad Effendy – Forum Ambin Demokrasi
Tradisi melawan kotak kosong berasal dari proses pemilihan Kepala Desa, di mana calon yang mendaftarkan diri hanya ada satu orang. Kondisi tersebut dapat terjadi karena warga masyarakat tidak ada yang bersedia dicalonkan untuk berkontestasi, baik karena adanya tekanan maupun karena calon yang ada terlalu kuat di lihat dari berbagai aspek, sehingga sulit untuk dilawan.
Akan tetapi dalam beberapa kasus, ternyata calon tungal dimaksud dalam proses pemilihan kalah dengan kotak kosong. Kalahnya calon tunggal dengan kotak kosong memberikan sinyal kuat bahwa masyarakat tidak menyukai orang yang mencalonkan diri tersebut, dan pilihan mereka kepada kotak kosong sebagai pernyataan protes yang dilakukan secara diam-diam.
Praktek pemilihan melawan kotak kosong tersebut kemudian diakomudasi dalam peraturan perundang-undangan Pilkada. Secara normatif disebutkan; jika sampai dengan batas waktu pendaftaran dan juga telah dilakukan perpanjangan masa pendaftaran, calon yang mendaftar dan memenuhi syarat hanya satu pasangan, maka pemilihan tetap dilaksanakan. Masyarakat diberi kesempatan menggunakan hak suaranya untuk memilih pasangan calon atau kotak kosong.
Sebagaimana dalam pemilihan kepala desa, pengalaman pada Pilkada juga pernah terjadi pasangan calon tunggal dikalahkan oleh kotak kosong. Jika hal tersebut terulang kembali pada Pilkada serentak secara nasional tahun 2024 ini, maka pemilihan di wilayah tersebut dilakukan penundaan, dan jabatan kosong untuk sementara akan diisi oleh Penjabat Kepala Daerah.
Aturan normatif tersebut di lihat dalam perspektif demokrasi adalah bagian yang substansial dalam rangka menghormati aspirasi dan suara rakyat. Pasangan tunggal dimaksud tidak serta merta dinyatakan sebagai kepala daerah terpilih tanpa melalui proses pemilihan oleh masyarakat yang akan dipimpinnya.
Menangnya kotak kosong sebagai pertanda bahwa pasangan calon tunggal itu tidak layak menjadi pemimpin. Fenomena kotak kosong sebenarnya merupakan hal yang bersifat alamiah, karena rakyat sebagai pemegang suara tidak berdaya memunculkan calon yang diinginkan.
Hal tersebut dikarenakan adanya halangan dengan mekanisme terkait dengan masalah yang bersifat formal prosedural, calon yang memiliki kualitas pada umumnya miskin secara finansial, dan yang tidak kalah pentingnya ada kekuatan belakang layar yang tidak dapat didlawan.
Prediksi akan terjadi pasangan calon tunggal di beberapa daerah pada Pilkada Tahun 2024 ini makin menguat seiring dengan terkonsentrasinya dukungan parpol atau gabungan parpol kepada pasangan calon tertentu, sehingga tidak menyisakan kursi parpol untuk memenuhi parliamentary threshold sebagai prasyarat mengajukan pasangan calon alternatif.
Meski bersifat alamiah, namun jika fenomena pasangan calon tunggal tersebut sengaja didesain secara politik, maka ia dapat mengganggu pembangunan demokrasi. Sebab, rakyat tidak diberikan pilihan yang mencerdaskan, tapi didorong untuk menjadi penjual suara.
Tidak ada pihak lawan yang akan melakukan protes jika terjadi transaksi dan kecurangan lainnya, sementara penyelenggara Pilkada sejak Pileg/Pilpres sudah kehilangan wibawanya.
Kondisi seperti ini memang sangat memprihatinkan, dan bangsa kita kian waktu makin jauh tenggelam ke dasar jurang kehancuran.
Elemen bangsa sengaja dicerai-beraikan agar mereka yang memiliki syahwat kekuasaan dengan mudah mengendalikan berbagai kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.
Tujuan pemilu/pilkada sebagai sarana untuk melakukan pergantian kekuasaan secara teratur, terhormat dan bermartabat ternyata tidak lagi memiliki makna yang hakiki, karena sudah terganti dengan simbol-simbol formalitas. Segala macam kegiatan deklarasi, surat rekomendasi persetujuan, rapat pleno pengesahan dan lain-lain hanyalah ajang untuk melakukan negoisasi politik dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat.
Kepedulian untuk melakukan perbaikan bagi masa depan bangsa yang lebih baik memang makin berat, akan tetapi kita tidak boleh kehilangan harapan.
Pekerjaan besar ini harus kita lakukan secara bersama demi anak cucu kita sendiri, agar ke depan mereka dapat hidup layak dan bermartabat dalam pangkuan ibu pertiwi. (L007)