BerandaOPINIMencermati Sinyal Ambruknya Kekuasaan Sebelum 2024 Tiba

Mencermati Sinyal Ambruknya Kekuasaan Sebelum 2024 Tiba

Penulis : Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Ekonom senior Faisal Basri akhir-akhir ini nampak semakin garang saja. Setelah sebelumnya menyampaikan pernyataan keras soal kebijakan pindah ibukota yang dinilainya sebagai langkah penguasa yang menggali liang kuburnya, kali ini ia mengemukakan ramalannya soal nasib pemerintah yang sekarang berkuasa.

Menurutnya, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan ambruk secara moral sebelum 2024 tiba. Hal itu bisa terjadi lantaran adanya konflik kepentingan di tubuh pemerintahan yang sekarang berkuasa.

“Saya sih melihat sekarang sudah pada situasi critical moment, di mana para oligark ini kan sebetulnya mirip dengan koalisi jahat ya. Nah kalau koalisi jahat itu tidak langgeng, mereka akan saling buka-bukaan karena pembagiannya tidak merata. Teman-teman KPK tahulah ya yang biasanya nggak, dapat melapor,” katanya dalam webinar, Sabtu (29/01/2022) seperti dikutip media.

Pernyataan dari Faisal Basri tersebut mendapatkan tanggapan dari Sosiolog UI Tamrin Timagola melalui akun media sosial miliknya. “Ayo kita ikut doakan agar ramalan @FaisalBasri bahwa rezim ini akan ambruk sebelum 2024 terwujud!,” ujarnya.

Ramalah tentang kejatuhan pemerintah yang berkuasa sebelum akhir masa jabatannya, rasanya sudah berulangkali dilontarkan oleh para pengamat politik, akademisi dan elemen masyarakat lainnya. Mereka memprediksi pemerintah yang sekarang berkuasa tidak akan bertahan lama sampai 2024 tiba.

Siapa-siapa sajakah orang yang pernah meramal pemerintah Jokowi tidak bakal bertahan sampai akhir masa jabatannya? Apa indikator yang bisa dijadikan tolak ukur untuk menilai pemerintah yang sekarang berkuasa bakal ambruk sebelum tahun 2024 tiba? Apakah ramalan itu akan menjadi suatu nyata atau sekadar ilusi belaka?

[nextpage title=”Para Peramal Itu”]
Para Peramal Itu

Lawrence R. Samuel dalam tulisannya, Why Do We Think So Much of the Future, menyebutkan bahwa masa depan telah berfungsi sebagai tempat untuk menampung ketakutan terburuk ataupun harapan manusia. Menurutnya, masa depan selalu membawa kesan misterius karena memiliki semacam kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya.

Dari Wikipedia Bahasa Indonesia, ramalan adalah usaha-usaha untuk memperoleh pengetahuan atas pertanyaan atau situasi melalui cara-cara okultisme atau ritual tertentu untuk mengetahui hasilnya.

Ramalan digunakan juga untuk mengetahui masa depan melalui cara-cara yang umumnya dipandang tidak rasional atau tidak sesuai dengan logika. Orang yang melakukan ramalan biasa disebut sebagai peramal, tukang/juru ramal, ahli nujum atau sejenisnya.

Tetapi ramalan yang dimaksudkan dalam tulisan ini tidak berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya irrasional atau yang tidak sesuai dengan logika. Karena para peramalnya adalah kalangan intelektual yang memprediksi suatu peristiwa berdasarkan kajian ilmu dan logika yang dimilikinya. Dalam konteks ini adalah ramalan tentang kemungkinan ambruknya pemerintah yang sedang berkuasa sebelum berakhir masa jabatannya.

Ramalan yang disampaikan oleh Faisal Basri tentang usia pemerintahan yang berkuasa sekarang tidak sampai ujung masa jabatannya sebenarnya bukan hal yang baru di benak publik Indonesia. Sebelumnya sudah banyak tokoh yang memprediksi Pemerintah bakal tumbang sebelum akhir masa jabatanya.

Pada tanggal 28 Pebruari tahun 2020 yang lalu, Pengamat ekonomi dan politik Sabang Merauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan memperkirakan rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan jatuh enam bulan lagi karena perekonomian Indonesia semakin susah dalam pemerintahan Jokowi di periode keduanya.

Prediksinya  tersebut disampaikannya dalam acara bertema “Benarkah Rakyat Kecewa Jokowi?” yang videonya diunggah ke kanal YouTube realita TV, Jumat (28/2/2020).

Syahganda mengaku telah membaca berbagai kajian dan menyimpulkan rezim Jokowi akan jatuh dalam waktu yang tidak terlalu lama. Prediksi ini berdasarkan pengamatannya dari sektor ekonomi dan politik yang semakin sulit ditengah pandemi virus corona.

Pada tahun yang sama tepatnya tanggal 21 Januari 2020, pengamat politik yang sekarang suaranya tidak lagi berdengung di Indonesia Lawyers Club (ILC), Rocky Gerung memberikan prediksi yang sama. Sosok yang pernah menjadi ghostwriter Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut menyebut pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak akan sampai 2024 karena masalah masalah yang membelitnya.

Menurut Rocky, Presiden Jokowi tengah mengalami surplus ketidakpercayaan publik seiring dengan terjadinya kontradiksi kebijakan dan inkonsistensi janji kampanyenya. Jika hal tersebut dibiarkan, alumnus filsafat Universitas Indonesia tersebut memprediksi akan terjadi demonstrasi dari mahasiswa, yang tentunya itu dapat menimbulkan gejolak politik sehingga bisa berujung kejatuhannya.

Masih ditahun yang sama, mantan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli (RR) turut memprediksi hal buruk akan terjadi pada pemerintah yang sedang berkuasa. Menurutnya akan terjadi krisis ekonomi besar yang terjadi menjelang lebaran sehingga bisa berimbas pada penguasa.

Menurut RR, terdapat lima faktor penting di sektor ekonomi yang jika terjadi secara bersamaan dapat memicu hal tersebut, yakni indikator makro ekonomi yang merosot, daya beli yang menurun,  ekonomi digital yang mengalami koreksi valuasi, dan terjadinya gagal panen para petani dan kasus jiwasraya.

Pada 15 Juni 2021, pemerhati politik dan kebangsaan, Rizal Fadillah juga meramalkan Presiden Joko Widodo tidak jadi Presiden lagi hingga tahun 2024.”Bisa saja Jokowi selesai sebelum 2024. Karena beberapa faktor,” ujarnya seperti dikutip media.

Menurutnya beberapa penyumbang bisa jatuhnya Jokowi di tengah jalan antara lain, faktor ekonomi, investasi mandek, pertumbuhan ekonomi yang minus sehingga terjadinya krisis di Indonesia dan sebagainya.

Di sisi lain, penegakan hukum yang masih terdapat diskiriminasi, serta persoalan politik oligarkis yang bisa menimbulkan gejolak, bisa menambah faktor jatuhnya Jokowi sebelum mengakhiri masa jabatannya.

“Kalau faktor-faktor itu terjadi, Jokowi harus hand out, kalau tidak mundur atau dimundurkan,” begitu katanya.

Selain Syahganda, Rocky Gerung, Rizal Ramli dan Rizal Fadilah,  paranormal Mbak You yang sudah meninggal dunia juga pernah meramal usia pemerintahan presiden Jokowi tidak akan bertahan lama.

Sebelum meninggal ia pernah meramalkan bahwa pemerintah yang sekarang berkuasa akan jatuh pada awal tahun 2021 sehubungan dengan memanasnya situasi politik di Indonesia.

Ramalan Mbak You itu sempat menjadi bumerang  karena ia mendapat kecaman dari berbagai kalangan yang merasa tidak suka. Mbak You sempat diancam akan dilaporkan ke polisi oleh Ketua Umum Cyber Indonesia, Muannas Alaidid karena dianggap menyebarkan informasi bohong dan meresahkan massa. Karena ancaman itu akhirnya ia meralat isi ramalannya.

Ditengah kencangnya prediksi bakal jatuhnya presiden Jokowi sebelum berakhir masa jabatannya bahkan sempat membuat pihak istana mengkhawatirkan nasibnya. Sampai sampai Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang memberikan larangan kepada Jokowi untuk menginjakam kaki di Kediri, Jawa Timur lantaran khawatir akan lengser setelahnya.

Pada saat itu  Sekretaris Kabinet(Seskab) Pramono Anung memang menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak berkunjung ke Kediri, Jawa Timur dengan alasan agar Presiden Jokowi tidak dilengserkan dari kursinya. Terdapat mitos yang berkembang di masyarakat bahwa wilayah Kediri adalah wilayah wingit atau angker bagi Presiden Republik Indonesia. Presiden yang berani mengunjungi Kediri, dipercayai kedudukannya akan dilengserkan dari kursinya.

Ada dua Presiden RI setelah mengunjungi Kediri dilengserkan, yakni Presiden Soekarno dan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Nah, Pramono tak ingin Presiden Jokowi mengalami hal yang sama.

“Pak Kiai, terus terang saya termasuk yang menyarankan Bapak Presiden (Jokowi) tidak ke Kediri. Saya yang menyarankan,” kata Pramono dalam sambutan di acara peresmian rusun di Ponpes Lirboyo, Sabtu (15/2/2020) yang lalu seperti dikutip media.

[nextpage title=”Membaca Sinyal”]
Membaca Sinyal

Prediksi yang dilakukan oleh “para peramal” tentang ambruknya pemerintahan yang berkuasa saat ini sebelum masa berakhir masa jabatannya, selalu dibarengi dengan indikator atau sinyal sinyal tertentu yang merupakan suatu pertanda terjadinya suatu peristiwa untuk memperkuat argumentasinya. Sinyal sinyal itu bisa berkaitan dengan masalah politik, ekonomi, hukum, keadaan sosial maupun aspek aspek lainnya.

Diantara sinyal sinyal yang bisa menjadi asbab jatuhnya pemerintah yang sedang berkuasa sekarang bisa disebutkan beberapa diantaranya :

Korupsi yang Merajalela

Sudah banyak kajian yang menyatakan bahwa korupsi menjadi penghambat pembangunan ekonomi suatu negara. Karena itu korupsi perlu diberantas sebab praktik ini menjadi sumber dari segala masalah ekonomi yang diderita bangsa.

Mulai dari kemiskinan, ketimpangan, terbatasnya lapangan kerja, bahkan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, semuanya terjadi berulang-ulang karena praktik korupsi yang melanggengkan terjadinya misalokasi sumber daya.

Sejarah mencatat, praktik korupsi di negeri ini sudah berlangsung sejak lama bahkan sejak zaman kolonial Belanda.Setelah kemerdekaan, praktik korupsi juga terjadi pada era Orde Lama. Akibat merajalelanya praktik korupsi di masa Orde Lama, negara pada waktu itu  mengalami krisis parah dengan inflasi lebih dari 600 persen, pertumbuhan negatif, dan jumlah utang yang luar biasa besarnya.

Rezim berikutnya, Orde Baru (orba), tidak lebih baik dari rejim yang di gulingkannya.Ross McLeod, ekonom dari Australian National University, menyatakan bahwa korupsi yang terjadi pada era orba dirancang oleh rezim untuk menciptakan dan mengumpulkan manfaat bagi semua kegiatan bisnis keluarga. Rezim ini sangat dikenal dengan slogan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN)-nya.

Praktik korupsi  yang terjadi selama puluhan tahun itu pada akhirnya mengantarkan Indonesia pada krisis ekonomi di tahun 1998 yang berujung pada tumbangnya Orba. Dengan demikian tumbangnya Orba disebabkan oleh perilaku korupsi yang terus  dibiarkan merajalela.

Sejak berakhirnya rezim Orba, Indonesia masuk ke era yang lebih demokratis yaitu era reformasi berkat perjuangan mahasiswa. Tapi bukan berarti, era reformasi luput dari para koruptor yang serakah mencuri uang negara.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan, korupsi yang terjadi saat ini jauh lebih buruk jika dibandingkan era orba. Hal itu menurutnya bukan merujuk kepada jumlah korupsinya, melainkan kondisi korupsi yang semakin meluas skalanya.

“Korupsi sekarang semakin meluas. Lebih meluas dari zaman Orba. Saya katakan, saya tidak akan meralat pernyataan itu. Kenyatannya saja, sekarang, hari ini korupsi itu jauh lebih gila dari zaman Orba. Saya tidak katakan semakin besar atau apa jumlahnya. Tapi meluas,” ujarnya dalam dialog dengan Rektor UGM dan pimpinan PTN/PTS seluruh Yogyakarta yang ditayangkab YouTube Universitas Gadjah Mada, Sabtu (5/6/2021).

Sementara itu Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia (UNHAN), Salim Said mengkhawatirkan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah yang sekarang berkuasa.

Akademisi kelahiran 10 November 1943 ini mengatakan, anak dan menantu Jokowi bisa menjadi pejabat publik karena adanya dukungan dari  kekuatan partai politik dibelakangnya. Salim Said lantas menyindir Jokowi dengan menyebutnya melakukan KKN hingga membahas soal pekerjaan anaknya.“Lah kok kita punya presiden (yang) KKN-nya terang-terangan. Anaknya yang cuma punya pengalaman jual martabak jadi wali kota,” ungkapnya melalui kanal Youtube Akbar Faizal Uncensored Kamis, 27 Januari 2022.

Terjadinya pratek KKN dilingkungan istana menyusul diamputasinya Lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menjadi sebab jatuhnya kekuasaan pemerintah yang sekarang berkuasa sebelum masa jabatannya seperti halnya yang terjadi di era Orba.

[nextpage title=”Hutang Yang Kian Menggunung”]
Hutang Yang Kian Menggunung

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J. Rachbini memprediksi di akhir masa jabatan, Presiden Joko Widodo akan mewariskan utang hingga mencapai Rp10.000 triliun.Besaran utang tersebut disebutkan berasal dari utang pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Alasan tersebut dibuat karena hingga Februari 2021 pemerintah telah mencatatkan utang sebesar Rp6.361 triliun.Dan BUMN mencatatkan utang Rp2.140 triliun per kuartal III 2020 lalu. Sehingga, total utang Indonesia hingga sekarang adalah Rp8.501 triliun.”Ini belum selesai pemerintahannya, kalau sudah selesai diperkirakan menjadi Rp10.000 triliun utang di APBN,” ujarnya seperti dikutip pikiranRakyat.com 24/3/21.

Artinya, dalam 10 tahun pemerintahan, Jokowi akan mewariskan tambahan utang negara lebih dari 7 ribu triliun,sehingga siapa pun Pemimpin yang akan terpilih nanti di 2024, maka mereka akan mewarisi beban utang yang begitu luar biasa besarnya. Utang negara yang besar ini akan menjadi penghambat bagi proses pembangunan nasional di masa yang akan datang setelah Jokowi tidak lagi berkuasa.

Dalam kaitan tersebut BPK dalam laporannya telah memperingatkan berulang kali bahwa kondisi utang negara sangat rentan karena melampaui seluruh standar yang ditetapkan lembaga-lembaga keuangan internasional.Adapun risiko keuangan negara semakin rawan jika ada gejolak krisis ekonomi yang menimpa Indonesia. Maka APBN sebagai bantalan fiskal akan menjadi rapuh dan lemah tak berdaya.

Kondisi tersebut bisa menjadi penyebab jatuhnya suatu pemerintahan karena terlilit utang yang besar sehingga kalau krisis ekonomi melanda Indonesia akan membuat stabilitas pemerintahan goyang sehingga bisa menjadi pemicu turunnya seorang presiden yang sedang berkuasa.

Penegakan Hukum Tebang Pilih

Menetapkan suatu hukum tentu memiliki manfaat yang terhingga karena hal ini akan bisa menghapus perbuatan buruk seperti korupsi, ketidakadilan, menegakkan keadilan, memelihara kehidupan masyarakat dan sebagainya.

Karena itu, hukum sepantasnya tidak tembang pilih, antara yang kaya dan yang tidak punya. Rasulullah SAW telah memperingatkan tentang situasi terdahulu di mana ada pembedaan antara yang terhormat dan yang tidak, yang lemah dan yang kuat sehingga memunculkan kasta di dalamnya.

Saat ini dizaman Presiden Jokowi berkuasa, suara suara yang menyatakan bahwa telah terjadi politik tebang pilih juga masih terdengar suaranya. Penegakan hukum selama presiden Jokowi berkuasa diwarnai oleh praktek-praktek ketidakadilan karena bersifat tebang pilih yaitu tajam ke lawan tumpul ke kawannya.

Sebagai contoh adanya penangkapan penangkapan dan proses peradilan terhadap para pelaku ujaran kebencian seperti Jonru, Ustadz Alfian Tanjung, Asmawati, Anton Permana, Habib Riziek dan yang lain-lainnya. Sementara para pelaku ujaran kebencian dan penista agama dari kubu penguasa tidak tersentuh hukum seperti  Ade Armando, Denny Siregar, Iwan Bopeng, Permadi Arya atau Abu Janda dan lain lainnya.

Soal tebang pilih penegakan hukum yang sedang ramai dibicarakan  saat ini adalah kasus yang menimpa Edy Mulyadi dimana kini yang bersangkutan sudah ditahan dan sudah ditetapkan sebagai tersangka. Yang bersangkutan membuat statemen kalau Kalimantan yang menjadi lokasi ibukota baru Indonesia sebagai “tempat jin buang anak” sehingga menyinggung penduduk asli  khususnya suku Dayak yang tinggal disana.

Penahanan sekaligus penetapan Edy Mulyadi sebagai tersangka dalam waktu singkat itu memunculkan dugaan adanya tebang pilih dalam penegakan hukumnya. Pada hal dalam kasus yang mirip sama, pelakunya diperlakukan berbeda. Sebagai contoh Puan Maharani pernah membuat orang Minang marah karena pernyataannya.

Sampai akhirnya Persatuan Pemuda Mahasiswa Minang (PPMM) melaporkan Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan Puan Maharani ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri itu karena ulahnya.

Pelaporan itu berkaitan dengan pernyataan Puan yang berharap agar Sumatera Barat menjadi provinsi yang mendukung negara Pancasila.”Melaporkan saudari Puan Maharani yang mana dia Ketua DPR RI pada kesempatan yang lampau telah menghina masyarakat Sumatera Barat,” kata Ketua PPMM David di Bareskrim Polri, Jumat (4/920) seperti dikutip media. Tetapi laporan itu hingga kini tidak jelas bagaimana kelanjutannya.

Pernyataan yang berbau rasis juga di ungkapkan oleh Tri Rismaharini mantan walikota Surabaya yang sekarang menjadi Menteri Sosial Republik Indonesia.  Menteri Sosial Tri Rismaharini alias Risma telah menebar ancam bagi ASN yang menjadi anak buahnya dipindah ke Papua kalau tidak becus kerjanya. Ancaman itu oleh netizen dianggap berbau rasis karena seolah olah Papua itu sebagai tempat yang rendah berbeda dengan daerah lain di Indonesia.

“Maaf, Bu Risma, bila berita ini benar, apakah Bu Risma tidak sedang merendahkan Papua?” Tulis @sudjiwotedjo. Sementara itu Fadli Zon berkomentar : “Pernyataan Menteri Sosial ini menyiratkan seolah Papua jd tempat hukuman ASN yg tak becus. Sebaiknya cabut saja pernyataan sensitif seperti ini.” @fadlizon.

Tetapi pernyataan yang berbau rasis itu sepertinya dianggap biasa biasa saja karena yang bersangkutan tidak diperkarakan meskipun dinilai telah membuat pernyataan rasis karena merendahkan orang atau wilayah Papua.

Yang paling fenomenal adalah kasus yang menimpa Arteria Dahlan anggota DPR yang telah membuat pernyataan menyudutkan orang Sunda. Bahkan karena pernyataanya ini ia didemo dimana mana dan diadukan ke aparat berwajib pula. Tetapi sampai sekarang yang bersangkutan tetap melenggang tidak ditahan apalagi ditetapkan sebagai tersangka.

Perlakuan ini tentu sangat berbeda dengan apa yang dialami oleh Edy Mulyadi yang langsung ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka pada hal kasusnya mirip mirip saja dengan Arteria yang diduga menghina orang Sunda. Karena hal ini netizen menilai kasus Arteria vs Dedy Mulyadi sebagai symbol praktek tebang pilih dalam penegakan hukum di Indonesia.

Adanya perlakuan yang tidak sama dalam penegakan hukum ini kalau dibiarkan bisa memicu ketidakpuasan dan ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum yang berujung pada praktek main hakim sendiri karena keadilan tidak didapatkan oleh mereka. Praktek main hakim sendiri ini bisa memunculkan suatu kekacauan dimana kalau Pemerintah tidak mampu mengendalikan bisa berujung pada kejatuhannya.

[nextpage title=”Tiga Periode”]
Tiga Periode

Ada keinginan dari beberapa pihak untuk memperpanjang periode masa jabatan presiden Jokowi menjadi tiga periode dinilai justru malah bisa mempercepat kejatuhannya. Penambahan periode masa jabatan presiden melalui amandemen Undang Undang Dasar 1945 berpotensi malah membuat presiden Jokowi sampai akhir masa jabatannya.

Adalah Direktur Gerakan Perubahan Muslim Arbi, menilai  menilai bahwa fenomena tersebut akan membuat Presiden Jokowi jatuh di tengah jalan alias ambruk sebelum berakhir masa jabatannya.“Watak dan karakter kekuasaan yang ingin berlama-lama itu pasti timbulkan kemarahan rakyat,” tegasnya, seperti dilansir Pojoksatu.id, Senin (30/8/2021).
Menurutnya, dengan memperpanjang kekuasaan melalui amandemen UUD 1945 sangat tidak menguntungkan rakyat akan jadi boomerang baginya.“Rakyat anggap amandemen tidak penting. Ini hanya siasat untuk perpanjang kekuasaan tanpa pemilu. Dan ini berbahaya. Bisa jadi setelah amandemen UUD 45 dan perpanjang kekuasaan, Jokowi malah jatuh,” kata Muslim dalam pernyataannya.

Lebih lanjut, ia mengatakan dengan maraknya suara-suara yang menginginkan Jokowi mundur maka Jokowi sendiri harus berkaca dari peristiwa Presiden kedua RI Soeharto yang jatuh usai diperpanjang masa  jabatannya.“Sama seperti Pak Harto. Setelah lama berkuasa dan menang Pemilu 1997. Setahun setelah itu 1998, Pak Harto malah jatuh,” pungkasnya.

Kebijakan Yang Tak Pro Rakyat

Rata-rata seorang presiden bisa  jatuh karena kebijakan-kebijakannya yang tidak sesuai dengan harapan rakyatnya kemudian menimbulkan krisis kepercayaan sehingga kehilangan kursinya. Apalagi ditengah badai corona, banyak amunisi bisa diledakkan untuk menggerogoti kewibaaan pemerintah yang mengarah pada upaya pemakzulannya.

Kebijakan pemerintah yang akhir akhir ini cukup membuat rakyat sengsara antara lain kenaikan harga harga sembako khususnya minyak goreng, pencabutan subsidi pupuk bagi petani, pengenaan pajak bagi orang kecil sambil memanjakan pengemplang pajak yang merugikan negara, impor barang barang pangan dari mancanegara dan sebagainya.

Sebelumnya juga muncul kebijakan yang tidak pro rakyat seperti keputusan Presiden untuk menaikkan iuran BPJS pada hal keputusan ini melanggar hukum karena MA telah membatalkannya tapi orang-orang dekat istana yang ahli hukum seperti Mahfud MD atau Yasonna Laoly terkesan membiarkannya.

Sementara itu ditengah pandemi virus corona masih saja ada menteri yang ngotot mendatangkan TKA asing asal China padahal masalah ini sangat sensitif karena anak anak bangsa banyak yang kehilangan lapangan kerja.

Terakhir kebijakan pemerintah untuk memindahkan ibukota negara ditengah kondisi keuangan negara yang sangat memprihatinkan telah membuat terbelahnya opini anak anak bangsa. Ancaman perpecahan begitu menganga karena adanya kebijakan yang terkesan grusa grusu tidak melalui perencanaan yang matang sehingga diragukan keberhasilannya.

Kebijakan-kebijakan yang tidak popular di mata rakyat tersebut tentu sangat berpengaruh pada kewibawaan pemerintah yang sekarang berkuasa.Kalau kebijakan kebijakan yang tidak pro rakyat ini terus digulirkan bukan tidak mungkin akan memunculkan ketidakpercayaan rakyat sehingga mereka berpotensi melawan kebijakan penguasa. Kalau ini terjadi bukan tidak mungkin akan terjadi tsunami Gerakan yang bisa berujung pada kehilangan kursi kekuasaannya.

Pertikaian Elite

Pertikaian antara elit politik yang menjadi pengendali negara bisa berpotensi menjatuhkan seorang presiden sehingga tidak bisa bertahan sampai akhir masa jabatannya. Indikasi adanya pertentangan antara elite politik ini dibaca oleh ekonomi senior Faisal Basri dalam analisis politiknya.

Menurutnya  situasi saat ini sudah kritis, di mana setiap elemen pemerintah tidak akan langgeng apabila tidak mendapat bagian yang sama besarnya.”Saya prediksi sih nggak sampai 2024 secara moral pemerintahan ini sudah ambruk karena mayoritas elitnya sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi, melakukan skandal dan skandalnya makin besar,” kata Faisal Basri dalam sebuah webinar yang digelar secara daring pada Sabtu, 29 Januari 2022 lalu.

Menurut dia kalau koalisi jahat itu tidak langgeng, mereka akan saling buka-bukaan karena pembagiannya tidak merata.”Teman-teman KPK tahulah ya yang biasanya nggak dapat akan melapor ke KPK. Jadi mereka sekarang pada fase buka-bukaan, pada fase saling membuka borok dan sebagainya dan sebagainya itu,” ucapnya.

Perkiraan adanya saling buka borok antara elite yang tergabung dalam koalisi memang sangat mungkin terjadinya. Karena ketika para elit itu bergabung untuk mendukung pemerintah yang sedang berkuasa mereka pasti sudah berhitung untung ruginya. Siapa mendapatkan apa adalah hal yang lumrah dalam pembagian keuntungan dalam suatu koalisi dimana mereka ada didalamnya. Kalau pembagian kue keuntungan itu dirasakan tidak adil maka sangat mungkin ada pihak yang kecewa lalu membuka borok borok yang lainnya.

Jika kemungkinan ini terjadi sementara seorang presiden tidak mampu mengendalikan atau mengharmoniskannya, bisa berpotensi mengganggu kekuasaan bahkan menjatukan kekuasaannya. Karena mereka yang tergabung dalam kekuasaan dimana seharusnya saling dukung mendukung untuk langgengnya kekuasaan kini saling cari selamat sendiri sehingga berakibat karamnya kapal kekuasaan yang selama ini mereka tumpangi bersama.

Kiranya banyak hal yang bisa membuat seorang pemerintah atau presiden jatuh sebelum berakhir masa jabatannya. Apa yang dikemukakan diatas hanya sebagian diantaranya dan itupun sangat tergantung pada perkembangan politik dan situasi yang ada.

Diluar enam aspek yang dikemukakan diatas sudah pasti ada faktor lainnya yang mungkin lebih dominan menjadi penyebab ambruknya kekuasaan pemerintah yang sedang berkuasa.

[nextpage title=”Sekadar Ilusi Belaka?”]
Sekadar Ilusi Belaka? 

Serangkaian ramalan tentang kejatuhan Presiden Jokowi sebelum berakhir masa jabatanya yang disampaikan oleh para pengamat politik, ekonom, akademisi dan paranormal tersebut untuk sementara belum  terbukti menjadi nyata. Faktanya presiden Jokowi sampai sekarang masih tetap nangkring di kursinya tanpa kurang suatu apa.

Bahkan kekuasaannya cenderung menguat seiring dengan melemahnya barisan oposisi yang semakin tidak berdaya. Apakah berarti ramalan tentang kejatuhan pemerintah yang sekarang berkuasa  sebelum akhir masa jabatannya memang hanya sekadar ilusi semata?

Pada konteks prediksi yang disebutkan oleh Faisal Basri, Rocky Gerung, Syahganda Nainggolan, Rizal Ramly, Rizal Fadillah dan yang lain lainnyaa, narasi yang dibawa oleh mereka dapat dimaknai dalam dua sudut pandang yang berbeda. Di satu sisi, mungkin itu adalah kemungkinan terburuk yang mereka khawatirkan akan terjadi pada pemerintahan yang sekarang berkuasa. Namun, di sisi lain, prediksi tersebut dapat pula dimaknai sebagai pemenuhan harapan mereka yang mungkin tidak puas dengan pemerintahan yang sekarang berkuasa.

Adanya indikasi-indikasi kejatuhan penguasa sebelum tahun 2024 tiba sebagaimana yang dikemukan oleh para peramal tersebut mungkin bukanlah semacam hasrat dalam mengkritik semata, melainkan merupakan suatu kalkulasi yang boleh jadi akan terwujud nantinya. Sebab siapa sangka pemimpin Orba yang sudah berkuasa 32 tahun lamanya akhirnya bisa jatuh juga?

Apalagi kalau hanya seorang presiden yang disebut sebut sebagai presiden boneka. Jika para dalang yang menjadi pengendalinya sudah tidak lagi berkenan terhadapnya (karena misalnya pembagian kue keuntungan yang tidak merata) bukan tidak mungkin ia akan didongkel dari kursinya.

Tetapi terlepas dari kemungkinan jatuh sebelum 2024 tiba, yang jelas upaya untuk jatuhnya kekuasaan saat ini seperti lebih rumit dari sebelumnya. Karena untuk menjatuhkan seorang presiden, kekuatan massa saja tidak cukup untuk melengserkannya. Masih  diperlukan adanya dukungan kekuatan partai politik dan juga tentara. Masalahnya  kedua kekuatan  tersebut sepertinya sekarang telah berhasil dijinakkan oleh pemerintah yang sedang berkuasa.

Di DPR sendiri,  74 persen wakil rakyat merupakan koalisi Presiden Jokowi yang selama ini sudah terbukti menjadi instrumen yang handal dalam memuluskan kebijakan kebikannya.Rupanya  strategi politik akomodatif yang dimainkan Presiden Jokowi selama ini  tidak hanya menghasilkan koalisi yang gemuk, melainkan juga dapat menjadi  alat pengaman dalam menghadapi gejolak politik yang mungkin dapat terjadi ke depannya.

Sementara itu kekuatan kedua yaitu barisan tentara sudah pula dibawah kendalinya. Presiden Jokowi disebut-sebut telah menjalin hubungan yang baik dengan kalangan militer sejak periode pertama pemerintahannya. Hal ini terlihat dari sang presiden yang menempatkan berbagai jenderal di posisi jabatan politik seperti apa yang dilakukan oleh penguasa Orba.

Saat ini jajaran militer yang mempunyai posisi penting di pemerintahannya seperti Luhut Binsar Panjaitan yang menjadi Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi yang sering disebut sebut sebagai Menteri segalanya. Ada Prabowo Subianto mantan rival yang sekarang menjabat sebagai Menteri Pertahanan Negara.

Tidak ketinggalan, ada juga nama Moeldoko yang bercokol sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Moeldoko juga menjadi orang kepercayaan Jokowi dan diberi jabatan demi menjaga keterwakilan militer dalam lingkaran inti kekuasaannya.

Dalam kaitan tersebut, Leonard C. Sebastian dan kawan-kawan dalam Civil-Military Relations in Indonesia after the Reform Period (2018) menilai Jokowi sebagai presiden berlatar belakang sipil tidak punya daya tawar besar untuk menjaga kekuasaannya, meski Pemilu telah dimenangkannya. Karena itulah, menurut Sebastian dan kawan-kawan, Jokowi menyandarkan kekuasaannya kepada kelompok tentara. “Selain memperkuat konsolidasi kekuasaan, aliansi dengan militer mempermudah Jokowi mencapai ambisinya.

Jokowi memastikan mendapat dukungan nasional dari seluruh daerah militer Indonesia yang bisa jadi perpanjangan tangan pemerintah memastikan jalannya kebijakan pusat di daerah-daerah terpencil,” tulis Sebastian dan kawan-kawannya.

Sementara itu Vedi Hadiz dari Murdoch University, Australia juga menyebutkan bahwa Presiden Jokowi menggunakan TNI untuk memperkuat posisi politiknya di hadapan lawan-lawannya. Hal ini juga semakin terlihat lewat pelibatan militer dalam program-program pemerintah yang dipimpinnya.

Saat ini bahkan militer disebut mengurusi berbagai hal, mulai dari urusan pembukaan lahan persawahan, pembangunan jalan-jalan baru, bahkan hingga hal-hal teknis seperti menjaga harga pasar dan tingkat inflasi yang selama ini bukan menjadi urusannya. Bahkan tentara juga punya tugas baru menurunkan baleho yang selama ini bukan menjadi bidang tugasnya.

Dengan gambaran kondisi sebagaimana dikemukakan diatas kalaupun kemudian terjadi demonstrasi besar besaran sebagai akibat ketidakpercayaan rakyat terhadap pemimpinnya yang dianggap tidak amanah atau mengkhianatinya, belum tentu kemudian pemerintah akan serta merta jatuh sebelum 2024 tiba.

Selama belum ada sinyal atau restu dari kalangan tentara maupun persetujuan dari partai politik melalui wakil wakilnya di Parlemen, sepertinya kekuasan presiden akan tetap aman aman saja karena dua kekuatan diatas akan menjadi tamengnya.

Tetapi selama ini ada adagium yang menyatakan bahwa “rakyat bersatu tak bisa dikalahkan !”, sehingga segala kemungkinan bisa terjadi bahkan sesuatu yang semula tidak duga duga. Semuanya memang sangat dinamis mengikuti situasi dan kondisi yang ada.

Semuanya tergantung pula pada sikap penguasa yang akan dilengkserkan kursinya. Kalau yang mau dilengserkan itu model model presiden seperti Gus Dur atau Soeharto yang tidak ingin ada pertumpahan darah bagi rakyatnya, bisa jadi pergantian kekuasaan akibat demo massif akan berujung pada kesadaran sang pemimpin untuk meninggalkan kursi empuknya.

Tetapi kalau model presidennya  maju tak gentar mempertahankan kekuasaan meskipun sudah hilang legitimasinya, maka kemungkinan untuk jatuhnya kekuasaan sebelum 2024 tiba,akan menjadi utopia belaka. Yang jelas tahun 2024 terbilang masih lama. Selama perjalanan waktu kesana banyak dinamika politik terjadi sehingga mempengaruhi apa yang bakal terjadi nantinya.

Sangat mungkin ramalan Faisal Basri yang menyebut pemerintah akan ambruk sebelum tahun 2024 tiba akan menjadi nyata. Tetapi bisa juga ramalan itu hanya sekadar ramalan belaka yang tidak akan menjadi nyata karena lemahnya indikator yang mengarah kesana. Kalau Anda sendiri menilainya seperti apa ?

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

BACA JUGA