LANGKAR.ID, BANJARMASIN – Kalimantan Selatan terus menghadapi dilema besar terkait sumber daya alam (SDA). Apakah kekayaan alam yang dimiliki daerah ini menjadi berkah atau justru petaka? Pertanyaan inilah yang menjadi fokus dalam diskusi interaktif yang diselenggarakan oleh Kalimantan Post di Tradisi Kopi, Banjarmasin yang dipimpin oleh Sukrowardi.
Diskusi ini menghadirkan berbagai pakar dan aktivis lingkungan, yang membahas kompleksitas pengelolaan SDA di Banua.
Dr. H. Mohammad Effendy, pakar hukum dan akademisi Universitas Lambung Mangkurat (ULM), menyoroti persoalan bagi hasil dari eksploitasi tambang yang masih jauh dari ideal. “Sudahkah 13% hasil tambang kita kembali untuk pendapatan Banua? Faktanya, tarik ulur kebijakan antara pusat dan daerah masih terus terjadi, membuat posisi daerah lemah dalam memperjuangkan haknya,” ujar Effendy. Ia juga menyoroti lemahnya kepemimpinan nasional, kurangnya pengawasan terhadap perusahaan ekstraktif, serta minimnya perlindungan terhadap masyarakat adat.
Pendapat yang kritis juga disampaikan Ilham Masyukri Hamdie Ketua FKUB Kalsel, Ustadz, dan Akademisi, Jika melihat pada diskusi SDA ini akan dikatakan berkah itu rasanya mimpi. 6 bulan lalu, saya melakukan diskusi besar dan pada akhirnya di telpon oleh FKUB pusat dan ditelpon oleh ketua NU di pusat. Nasib ormas yang ada di daerah-daerah ini nyatanya tidak pernah terpikirkan untuk mengelola izin tambang. Tuan guru tidak ada upaya dalam hal itu, pada akhirnya dibayangi preman dalam pengelolaannya. Persoalan-persoalan kerusakan lingkungan yang tidak hanya di Indonesia ini sudah menjadi permasalahan global. Sekarang ini kematian panas akibat global, kelaparan, bencana yang tidak alami, wabah, kehancuran ekonomi, dan konflik sudah terjadi. Bicara masalah lingkungan ini merupakan dilema moral; eksploitasi alam atau bicara tentang kelestarian lingkungan. Kedua keadilan antargenerasi yang harus dipikirkanKetiga, perubahan iklim dan tanggung jawab global. Ia juga menyampaikan Agama harus bisa bertindak untuk menegakkan masalah deep ecology. Bahayanya ketika lingkungan hancur, akan banyak terjadi konflik di masyarakat. Agama mengajarkan kebaikan terhadap alam. Penafsiran agama yang selama ini bersifat antroposentris, harus diubah menjadi penafsiran eco-teology.
Senada dengan itu, Raden dari WALHI Kalsel menegaskan bahwa saat ini Kalimantan Selatan dalam kondisi darurat bencana ekologis. “Sebanyak 51% wilayah Kalsel telah dikuasai oleh izin perusahaan ekstraktif, baik tambang, perkebunan monokultur skala besar, maupun pengelolaan hutan. Ini menyebabkan banjir, kebakaran lahan, dan konflik agraria yang semakin meningkat,” ungkapnya. Ia juga menyoroti lemahnya peran pemerintah dalam menegakkan hukum bagi perusahaan perusak lingkungan.
Salah satu contoh nyata dampak buruk eksploitasi SDA adalah kasus PT Julong dan PT Palmina di Jejangkit, di mana limbah sawit yang dibuang ke sungai telah mencemari sumber air masyarakat, menyebabkan mereka tidak bisa bertani selama tiga tahun. Raden menekankan perlunya tindakan tegas dari pemerintah untuk menghentikan eksploitasi yang tidak berpihak kepada rakyat.
Alif Riharto, Kepala Bidang Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan Kalsel, menyatakan bahwa pihaknya terus berupaya melakukan rehabilitasi hutan untuk mengurangi dampak deforestasi. “Dulu, kemampuan rehabilitasi hanya sekitar 500 hektar per tahun, tetapi sekarang sudah mencapai 10.000 hektar. Kami ingin semua pihak, termasuk masyarakat dan korporat, terlibat dalam upaya menjaga lingkungan,” jelasnya.
Sementara itu, Gayatri dari Dinas ESDM Kalsel menyoroti perubahan regulasi yang membatasi kewenangan daerah dalam mengelola SDA. “Dengan UU Minerba No. 3 Tahun 2020, kewenangan sepenuhnya diambil oleh pusat. Daerah hanya memiliki peran dalam memberikan rekomendasi izin. Hal ini membuat pemerintah daerah semakin sulit dalam mengontrol dampak eksploitasi SDA,” katanya.
Selain itu Nanik Hayati, Jurnalis Senior, menyoroti ketimpangan ekonomi yang terjadi akibat pengelolaan SDA yang belum optimal. “Kita ambil contoh di Tapin, di mana sektor pertambangan menyumbang 44,5% PDRB, tetapi tenaga kerja yang terserap hanya 5%. Bahkan, masih ada desa-desa di sekitar tambang yang tidak merasakan peningkatan kesejahteraan.
Nanik juga mengungkapkan bahwa berdasarkan data, Total cadangan Batu Bara sebanyak 13,22 miliar ton sementara Cadangan yang terverifikasi sebanyak 9,99 miliar ton
Dan Cadangan yang bisa dieksploitasi adalah 3,02 miliar ton Dari data ini Jika sektor pertambangan saja dapat menghasilkan Rp 4 triliun dan dikelola dengan baik, potensi besar untuk mengentaskan hampir 200.000 warga miskin di Kalsel menjadi nyata. “Saya melihat ada ketimpangan yang harus disoroti, Jika hasil eksploitasi SDA ini benar-benar dikelola secara bijak, bukan hanya ekonomi masyarakat yang meningkat, tetapi dampak lingkungan seperti banjir yang semakin parah juga bisa ditangani dengan lebih baik,” tambahnya. (007)