LANGKAR.ID – Noorhalis Majid memulai prolognya dengan mengatakan bahwa forum Ambin Demokrasi diadakan agar narasi-narasi seputar Pemilu, dapat mencerdaskan pemilih. Minimal ada yang menyuarakan hal-hal substansial tentang demokrasi, sehingga kualitas demokrasi berjalan semakin baik. Sebab, di media social perang narasi sangat kuat sekali, bahkan sudah kasar, namun tidak mencerdaskan. Hanya melahirkan budaya komentar, dimana semua orang tiba-tiba menjadi komentator, tanpa jelas keilmuannya. Selain itu, semua orang hanya menonjolkan calonnya, bukan gagasannya.
Dialog yang dipandu oleh Patrhurrahman Kurnain, dosen Fisip ULM ini dihadiri banyak tokoh, bertempat di rumah alam Sungai Andai, Rabu 17 Mei 2023.
Muhammad Effendy, dosen Tata Negara Fakultas Hukum ULM, mengatakan bahwa, secara umum narasi dalam Pemilu bertujuan agar orang bisa tampil ke hadapan publik. Bagi seorang calon, narasi menjadi visi dan misi. Semestinya, narasi dalam rangka menjelaskan apa yang menjadi visi dan misinya ketika menjadi calon legislatif. Bagi Tim Pendukung atau Tim Pemenangan, narasi bertujuan untuk memperkuat calon yang didukungnya. Narasi menjadi sangat penting, sebab melalui narasi yang disampaikanlah, lahir penilaian masyarakat atas calon. Faktanya dalam Pemilu kita, nilai atau bobot narasi sangatlah kurang, bahkan miskin narasi, sehingga semua sepertinya sama saja,
Sering kali yang dilihat adalah siapa yang mengucapkan narasi, bukan isi narasi yang disampaikan. Seharusnya, yang dinilai adalah isi narasinya, baru kemudian figurnya.
Memang caleg-caleg kita tidak kuat dalam menyampaikan narasi, yang disampaikan lebih banyak jargon-jargon politik. Padahal, hanya narasi yang baik, yang dapat menggaet hati pemilih.
Narasi seputar Habaib, sebagai simbol dari agama, lebih kuat dari pada Gusti sebagai simbol kebangsawanan. Namun, sayangnya Habib masih di bawah money politik. Jadi apakah Habaib atau Gusti, bila ada money politik maka keduanya juga akan kalah.
Kenapa Habaib sangat kuat, sebab jaringan dan solidaritas Habaib mendukungnya, sekalipun visi misinya tidak jelas. Dalam Pemilu, mestinya yang ditonjolkan bukan simbol atau gelar seperti Habaib atau Gusti, tapi yang paling penting adalah visi dan misi yang akan diperjuangkan oleh sang calon.
Sementara itu Sukrowardi, anggota DPRD Kota Banjarmasin dari Partai Golkar, menyampaikan bahwa saat ini masyarakat sangat cuek terhadap tahapan Pemilu, padahal tahapan tersebut bagi calon sangat krusial, sebab semua calon disibukkan oleh berbagai persyaratan dan dibatasi oleh limit waktu yang tidak panjang. Mestinya masyarakat juga ikut memantau terkait persyaratan, sebab nyatanya banyak calon yang sebenarnya tidak memenuhi syarat namun lolos menjadi calon.
Terkait narasi, caleg sendiri tidak mempedulikannya, bahkan empat kali jadi anggota dewan, tidak jelas narasinya, apa yang sudah diperjuangkan?, regulasi seperti apa yang sudah dihasilkan? Yang diincar oleh seorang calon hanya penguasaan resources, bila terpilih nanti, di tingkat kabupaten atau kota minimal sebulan mendapatkan 40 hingga 60 juta. Jadi tidak terbayangkan akan melakukan apa, memperjuangkan soal apa, namun apa nanti yang akan didapatkan. Saya sangat pesimis ada yang memikirkan soal pembangunan dan segala hal yang memajukan daerah, di Kota Banjarmasin misal, dari anggaran 2 trilyun, 80% habis untuk belanja pegawai, dan sisanya juga masih berpeluang disimpangkan.
Haris Makkie, mantan birokrat yang sekarang bergabung pada Partai Bulan Bintang, mengatakan bahwa di negara-negara lain, narasi jauh lebih penting dari apapun, termasuk calon. Bahkan tidak ada pembicaraan soal money politik, mungkin yang ada hanya ongkos politik. Sebab, mustahil menghindari ongkos dalam politik, sebab pasti ada aktivitas yang membutuhkan dana. Di tempat kita, selain ongkos politik, juga ada money politik. Sebab kuat ungkapan “datang liur, bulik liur jua”, datang sekedar omong saja, maka pulang juga omong, bukan melahirkan dukungan.
Siapa yang harus mencerdaskan pemilu? Mestinya yang mencerdaskan adalah partai politik. Sementara yang terjadi, jangankan soal mencerdaskan pemilih, mekanisme perekrutan caleg saja tidak jelas.
Kenapa caleg yang mudah terpilih adalah orang-orang petahana, sebab mereka rajin memelihara konstituen. Padahal cara memeliharannya dengan menggunakan APBD, bukan dengan memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam anggaran dan kebijakan.
Sekarang ini, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mendorong Parpol memiliki mekanisme yang baik dalam rekrutmen calon legislatif, bukan dengan cara yang asal-asalan, sehingga calon yang disuguhkan oleh partai-partai, memang orang pilihan yang dapat berjuang untuk rakyat.
Melihat keadaan sekarang ini, rasanya sudah mustahil memperbaiki ketergantungan pada money politik, sudah sebegitu rusaknya. Semuanya dikuasai uang, tidak diperlukan narasi-narasi. Kalau pun hari ini kita mendorong agar narasi lebih diutamakan, mungkin nanti baru berdampak beberapa generasi setelah kita. Mudah-mudahan, dari kelompok kecil ini bisa mengubah cara berpikir masyarakat secara perlahan.
Winardo Sethiono, seorang pengusaha yang sekaligus ketua Partai Nasdem Kota Banjarmasin, membenarkan bahwa sekarang ini narasi tidak begitu penting, di tengah masyarakat, uang jauh lebih penting. Bahkan ia setuju, bahwa Habaib dan Gusti, juga kalah dengan uang. Melihat kondisi tersebut, ia mengatakan edukasi sangat diperlukan. Bila dibiarkan, akan semakin parah. Masyarakat sangat cuek, kecuali ada isu bahwa daerah ini akan tergadai, baru masyarakat peduli. Kodisi seperti ini diperparah oleh krisis para akademisi yang tidak mau turun tangan melakukan berbagai pendidikan politik. Akademisi diam saja, asik dengan dunianya. Padahal perannya sangat diharapkan.
Khariadi Asa, seorang jurnalis dan mantan penyelenggara Pemilu, mengatakan bahwa terkait berita hoak yang banyak di media sosial, Kementrian Kominfo setiap tahun selalu mendeteksi ribuan berita tersebut dan mengklarifikasinya. Namun entah kenapa, selalu saja mucul berita hoak dan itu sangat memberi pengaruh pada masyarakat. Rupanya, kemajuan teknologi yang melanda masyarakat, tidak dibarengi dengan kemampuan literasi.
Hadir pula Hastati, seorang polisi baru perempuan dari partai Nasdem, dia mengatakan bahwa dalam komunikasinya dengan masyarsakat, selalu terhambat oleh pertanyaan soal ada tidaknya uang yang dimiliki. Selalu ia sampaikan bahwa, tujuannya terjun politik justru dalam rangka melawan money politik, jadi pasti tidak ada uang untuk money politik. Kalau semua calon melakukan hal seperti ini, pemilu akan lebih baik, katanya.
Sementara itu, Lidia Agustina, anak muda yang aktif dalam berbagai organisasi, memberikan gambaran bahwa anak muda sekarang sepertinya apatis terhadap Pemilu. Untuk apa anak muda ikut sibuk Pemilu, toh tidak berdampak langsung dengan mereka. Lebih baik memikirkan diri sendiri saja. Kalau ikut memilih atau ikut mendukung, toh tidak akan diperhatikan juga, sebab ini dunianya orang tua, bukan dunianya anak muda. Begitulah kebanyakan persepsi yang ada di kepala anak-anak muda. Karena itu perlu pencerahan, termasuk oleh akademisi.
Herliani, ibu rumah tangga yang baru ikut terjun dalam politik dan memilih menjadi caleg Nasdem, berpendapat sangat sulit menghapus money politik. Ia mengaku mengandalkan berbagai komunitas ema-ema yang sering dia ikuti dna berinteraksi, termasuk beberapa komite sekolah yang dia aktif menangani. Namun, pertanyaan yang sering mucul, ada tidak uangnya? Sekarang bagaimana memahamkan agar tidak boleh ada money politik, dan tugas siapa memahamkan tersebut.
Yunus, mantan aktivis buruh dan caleg Nasdem, mengatakan bahwa yang dilakukan caleg pada dasarnya bagaimana mampu menjual gagasan atau ide kepada masyarakat, sehingga masyarakat tertarik untuk memilih yang melemparkan gagasan tersebut. Satu ilmu tua yang dimiliki manusia, yaitu ilmu menjual, meyakinkan bahwa yang dijualnya, layak untuk dibeli. Dalam menjual, ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu bagaimana mampu memberikan perhatian, bagaimana mampu menciptakan ketertarikan, bagaimana dapat memenuhi keinginan masyarakat, dan pada ujungnya mampu mendorong untuk melakukan.
Sementara ini, banyak orang yang hanya menjual kecap, seolah memiliki ini dan itu, mampu memenangkan partai dengan kekuatan sumber daya yang disampaikan, dan partai percaya saja dengan orang seperti itu.
Terkait sistem Pemilu, kemungkin pada Pemilu 2029, sistem proporsional terbuka dan tertutup akan digabung. Agar memenuhi keterwakilan perempuan, maka calon dari perempuan akan tertutup. Sehingga calon perempuan di Parlemen minimal jumlahnya 30%.
Siti Mauliana Harini, akademisi Fisip ULM, menyampaikan bahwa pembicaraan soal keterwakilan perempuan, bagian dari gerakan sosial. Tujuannya agar perempuan berani. Bila ada yang berani, maka akan mendorong dan memotivasi perempuan lainnya untuk ikut dalam Pemilu.
Terkait narasi, kata Mauliana, lebih banyak disampaikan untuk kekuasaan. Antara narasi dengan penyampai narasi atau narasumber, lebih kuat narasumbernya. Orang lebih melihat penyampai pesan dari pada isi yang disampaikan. Padahal, pengetahuan harus terlepas dari subyeknya. Siapapun penyampainya, yang paling penting adalah apa yang disampaikan, apakah mengandung pengetahuan atau tidak. Sementara itu, kalau celeg menyampaikan sesuatu, ia harus terlihat baik bagi rakyat, sebab orientasinya pada kekuasaan.
Masyarakat sendiri dalam melihat narasi tidak pernah obyektif, selalu dianggap ada kepentingan atas narasi yang disampaikan. Sebaik apapun narasinya, yang dilihat adalah kepentingan apa di balik narasi tersebut. Narasi dianggap selalu memiliki kepentingan tertentu, sehingga tidak pernah didengarkan.
Akademikian juga sulit untuk menyampaikan berbagai hal, sebab setiap kali berkomentar, selalu bertujuan atau dianggap bertujuan mencari panggung. Tidak murni untuk menyampaikan pengetahuan.
Winardi Sethiono menambahkan, bahwa politik uang sudah sangat parah, kondisinya sudah demikian, seperti tidak dapat dihindari. Akademisi juga sudah demikian adanya, sangat sulit merubahnya. Dengan kondisi yang semakin parah itu, maka dalam menyampaikan kebenaran, tidak perlu lagi sopan santun, sampaikan saja dengan gambling sejelas-jelasnya, agar tidak dianggap angin lalu. Sampai kapan pun, masyarakat tetap akan bodoh, karena memang diinginkan untuk terus bodoh, tidak perlu ada pendidikan politik, sebab hanya akan menyulitkan kelompok oligarki yang selama ini menguasai Pemilu.
Nasrullah, seorang dosen antropolog dari ULM, juga menanyakan kenapa di tempat kita Habaib begitu menonjol dalam Pemilu, padahal di tempat lain tidak. Sehingga narasi, kalah dengan simbol seperti Habaib tersebut. Kualitas narasi semakin rendah, termasuk narasi yang disampaikan anggota DPRD, sebab mereka lebih banyak jalan-jalan saja, dan itu salah satu cara mendapatkan uang.
Narasi, kalah dengan figur. Dan politik sekarang ini lebih menonjolkan figur. Tidak pada pemilihan narasi. Anehnya, kenapa negara tidak memunculkan narasi dulu baru kemudian bicara figur. Lihat saja, yang utama disampaikan adalah figurnya, bukan narasinya. Nanti pada akhirnya, narasi hanya menjadi pelengkap dari figur yang diusung. Figur jauh di depan, dan narasi tertinggal di belakang. Buruknya lagi, bukan hanya soal mengabaikan narasi, tapi juga orang, sebab pada akhirnya bukan narasi atau orang, akan tetapi berapa uang yang diberikan.
Pemilu kita, selama ini bertarung mendukung tokoh, bukan tokoh yang menyelesaikan persoalan. Kalau mampu menyelesaikan persoalan dengan narasi-narasi yang disampaikan, bisa saja kemudian berdamai dengan tokohnya.
Publilk sendiri tidak memunculkan persoalan untuk diselesaikan melalui gagasan-gagasan. Mestinya media masa sendiri memfasilitasi pertarungan wacana, pertarungan narasi, bukan pertarungan orang. Namun, ketika kita mempersoalkan narasi, sepertinya yang menjabat terdahulu seolah tidak berhasil, sehingga diperlukan narasi baru untuk memperbaikinya.
Muhammad Effendy menambahkan, bahwa di Amerika, orang menang Pemilu karena narasi. Di sana, narasi antara satu partai dengan partai lainnya sangat jelas bedanya, sehingga pemilih dapat menentukan ikut narasi yang mana. Di tempat kita narasinya tidak ada, sehingga semua partai sepertinya sama saja, sama-sama tidak memiliki narasi. Yang dijual hanya orang, figur, bukan gagasannya. Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Partai politiklah, sebab partai yang merusaknya, membiarkan anggotanya berkeliaran sendiri dengan caranya masing-masing dalam memenangkan Pemilu, termasuk dengan cara money politik.
Bila sistem proporsional tertutup, maka partainya juga tertutup, ada idiologi pada setia partai, sehingga memiliki identitasnya masing-masing, misal partai buruh memperjuangkan kepentingan buruh, seperti dulu partai Masyumi yang memperjuangkan kepentingan agama, dan sebagainya, partai menarasikan yang diperjuangkan. Hal tersebut bisa terjadi, apabila ada otonomi partai di dearah. (Noorhalis Majid)