Oleh: Noorhalis Majid
Apakah perempuan berpeluang menang dalam Pemilu? Jawabannya tergantung dua hal, pertama, apakah semua Parpol menempatkannya pada nomor urut satu? Serta, Parpol serius memberi penguatan dan “panggung”, agar populer, hingga dikenal secara luas.
Kedua, bila semua pemilih perempuan, berkomitmen memilih perempuan, buah dari kesadaran agar ada wakil perempuan di parlemen, yang bekerja memperjuangkan perempuan.
Bila masih ditempatkan sebagai pelengkap, sekedar menggugurkan syarat, pasti sulit bersaing dengan caleg laki-laki. Sebab, seperti lomba lari, perempuan kalah start. Segala sumber daya dan otoritas sudah lama dimiliki laki-laki. Perempuan baru belakangan memulainya.
Mestinya, kalau serius meneguhkan 30% perempuan, semua yang berkepentingan, mempersiapkannya jauh sebelum Pemilu. Entah itu Parpol, Pemerintah, Perguruan Tinggi dan masyarakat sipil, hendaknya giat melakukan pendidikan politik bagi perempuan, agar segala hambatan budaya, kultur, persepsi agama dan keterbatasan pengetahuan serta pengalaman, dapat diatasi.
Pun politisi perempuan itu sendiri. Harus saling menguatkan, memberi kesempatan dan peluang. Kalau sudah punya kesempatan, bekerjalah semaksimal mungkin, memperbaiki demokrasi, agar sehat dan seimbang.
Komposisinya pasti belum mungkin 50-50, minimal 30% perempuan mewarnai parlemen. Untuk mewujudkannya, harus bekerja super ekstra. Sebab sebagian besar pasti sulit terpilih, selain berada pada nomor urut penggembira, tidak memiliki sumber daya, juga kurang didukung komunitasnya sendiri.
Keterwakilan perempuan dalam Pemilu, adalah buah dari kesadaran berpuluh tahun, bahwa demokrasi hanya sehat dan bermartabat, bila ada kesetaraan, yang diawali dengan keseimbangan komposisi laki-laki dan perempuan.
Sehat itu mempersyaratkan keseimbangan, termasuk dalam soal demokrasi. (nm/L212)