Oleh : Mohammad Effendy – Forum Ambin Demokrasi
LANGKAR.ID,BANJARMASIN – Kasus Firly Norachim salah seorang pegiat UMKM di Kota Banjarbaru menjadi sorotan publik, karena ia didakwa melakukan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen dan perkaranya sedang bergulir di PN Banjarbaru. Masyarakat terkejut karena gara-gara barang jualannya tidak mencantumkan label “waktu daluarsa” ia harus berurusan dengan pihak kepolisian yang memprosesnya sebagai tindak pidana.
Keterkejutan masyarakat itu dikarenakan barang jualan yang tidak menggunakan label daluarsa tersebut adalah barang makanan yang cukup familiar – karena menjadi makanan keseharian yang sudah menjadi bagian dari budaya umum masyarakat. Makanan tersebut dapat ditemukan pada hampir semua pasar tradisional, cuma dijual terbuka tanpa kemasan.
Sebagai pegiat UMKM, wajar saja kalau ia mencoba mengembangkan makanan tersebut dengan memberinya kemasan yang baik agar dapat menarik konsumen kelas menengah baik untuk dikonsumsi sendiri maupun sebagai “oleh-oleh” untuk tamu dan keluarga mereka. Tiba-tiba pihak aparat penegak hukum menjadikan barang jualan dimaksud menjadi “kasus hukum” karena dianggap berbahaya bagi konsumen – tidak ada label daluarsa.
Tindakan APH tersebut tentu dianggap agak berlebihan, karena seharusnya APH bekerjasama dengan instansi Pembina UMKM terlebih dahulu melakukan pendekatan yang bersifat persuasif. Pegiat UMKN yang merupakan penyangga ekonomi nasional dan menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat akar rumput seharusnya dibina, diarahkan, serta didorong agar dapat terus bertahan dalam kondisi bangsa yang diliputi oleh kemiskinan yang sangat massif.
Sebagian besar kita berasal dari keluarga yang berjuang dengan penuh penderitaan di pasar-pasar tradisional dan dapat bertahan hidup untuk membesarkan kita semua – mungkin juga termasuk orang-orang yang sekarang memiliki kekuasaan dan kewenangan. Jangan lupakan dari mana kita berasal – jangan lupakan orang tua kita dulu yang berjuang agar kita dapat menempuh pendidikan dan rezeki itu mereka dapatkan di sawah, di kebun, di sungai dan lain-lain, dan semuanya akan berujung di pasar tradisional, atau sekarang sebagiannya meningkat menjadi toko-toko modern.
Mereka yang pernah menempuh pendidikan hukum tentu masih ingat wejangan para pengajar yang menjelaskan bahwa penyelesaian secara hukum itu tidak semata-mata melalui jalur “pidana”. Banyak ruang yang disediakan oleh hukum, misalnya penyelesaian secara administratif, atau sekarang sedang didorong penyelesaian melalui “restoratif justice”.
Kasus yang menimpa pegiat UMKM yang lagi viral di medsos ini sebenarnya jalan penyelesaian yang sangat elegan adalah melalui proses administratif. Jika label tersebut memang sangat diperlukan untuk perlindungan konsumen, maka beri pegiat UMKM itu waktu untuk proses pembinaan dan bimbingan.
Mengapa bangsa ini senang sekali menggunakan jalur pidana untuk menyelesaikan suatu kasus hukum. Tragisnya, penyelesaian secara pidana lebih banyak terjadi pada masyarakat kelas bawah – jajaran akar rumput yang memang sangat tidak berdaya. Apakah dengan banyaknya kasus pidana yang ditangani itu berarti hukum semakin “tegak”, atau sebaliknya kita telah gagal membangun masyarakat yang kian beradab. Penyelesaian secara pidana adalah jalan terakhir jika sudah tidak ada ruang untuk penyelesaian jalur lain yang tersedia.
UU tentang perlindungan konsumen adalah pranata hukum untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban dari praktek “kotor” dari mereka yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi penerapan UU tersebut tidak dapat menggunakan norma yang sifatnya “prediktif” atau berdasarkan asumsi semata. Harus dibuktikan secara faktual telah ada korbannya dengan menyajikan data valid berdasarkan prinsi-prinsip ilmiah.
Oleh karena kasus ini sudah masuk dalam ranah pengadilan, maka kewajiban Jaksa adalah membuktikan di persidangan bahwa telah ada korban akibat mengkonsumsi makanan yang tidak mencantumkan “label daluarsa”. Demi keadilan, maka bukti tersebut harus dilengkapi dengan hasil “uji laboratorium” serta keterangan ahli yang menyatakan dampak dari makanan yang menjadi barang bukti di persidangan beserta orang-orang yang menjadi korbannya.(007)