BerandaPOLITIK"Ragap Papan" Coba Ditimbang Dalam Menakar Kriteria Calon Presiden

“Ragap Papan” Coba Ditimbang Dalam Menakar Kriteria Calon Presiden

LANGKAR.ID, Banjarmasin – Memasuki tahun politik Forum Ambin Demokrasi menggelar diskusi dengan tema “Menakar Kriteria Calon Presiden” di Rumah Alam Sungai Andai, Komplek Andai Jaya Persada, Blok D, Rt 34, No 8, Sungai Andai Banjarmasin, Sabtu (4/3/2023).

Hadir dalam pemantik diskusi, ahli tata negara dan praktisi pendidikan Profesor Dr H Muhammad Effendy, pakar komunikasi politik Datuk Cendikia Hikmadiraja Kesultanan Banjar Dr Taufik Arbain dan jurnalis perempuan Nanik Hayati yang juga bakal calon Anggota DPD RI, dengan moderator Hairansyah.

Dalam pembuka diskusi, Pembina LK3 Banjarmasin dan pemilik Rumah Alam Sungai Andai Nurcholis Madjid menyampaikan, dalam ungkapan Banjar ada “Ragap Papan” dimana apabila sudah berpatokan pada satu calon, baik calon kepala daerah maupun calon presiden maka akan sulit dirubah.

“Coba kita takar dan lihat lagi dengan baik mumpung waktu masih panjang supaya kita bisa menentukan calon presiden pilihan kita, partai saja berpikir apalagi kita, nanti kalo partai berubah maka akan kecewa kita,” paparnya.

Menanggapi Ragap Papan tersebut Taufik Arbain mengatakan, hal tersebut merupakan framming yang ingin dibangun, sehingga mempengaruhi publik. Berdasarkan survei di salah satu kabupaten di Kalsel memang muncul nama Anies Baswedan, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan lainnya.

“Kita jangan masuk dalam ruang-ruang yang Ragap Papan, jangan disalahkan rakyat yang mencintai capres Ragap Papan, tapi pegiat demokrasi juga jangan Ragap Papan membela yang salah,” ujarnya.

Alat takar calon presiden ada dua, yakni persepsi publik atas capres tersebut, seperti pengalaman, jejak rekam dan loyalis. Kemudian dinamika elektabilitas capres seperti opini publik, popularitas dan akseptabilitas-fluktuatif.

Persepsi publik terhadap capres di Kalimantan Selatan (Kalsel), mereka menyukai lebih dominan soal pengalaman dan nuansa kebatinan dan keagamaan, sehingga orang akan mempertentangkan antara capres yang religius nasionalis dan yang hanya nasionalis.

“Itu akan terbentur di Indonesia termasuk di Kalsel, lalu muncul pertanyaan kita tidak perlu ada politik identitas, soal itu adalah hak warga negara,” katanya.

Taufik menambahkan, bagi kelompok-kelompok yang mempertentangkan politik identitas itu merupakan hak nya begitu juga sebaliknya, selama tidak merusak persoalan kebangsaan.

“Mereka yang mendengungkan anti politik identitas, mereka juga melalukan politik identitas yakni sekularisme. Tapi yang terbangun dari politik identitas seakan-akan persoalan keagamaan,” paparnya.

Hal diatas menurutnya juga berhubungan dengan popularitas, aksepbilitas dan elektabilitas, banyak orang populer namun belum tentu diterima, “Di aksepbilitas inilah yang akan menentukan menuju elektabilitas, sehingga ruang- ruang itulah bagi tim sukses untuk dibangun,” imbuhnya.

Sementara, dari kacamata perempuan, dikatakan Nanik Hayati, pekerjaan rumah bagi capres ke depan adalah, Indonesia sebentar lagi akan menghadapi bonus demografi dimana usia produktif meledak, tentu ini menjadi tantangan bagi capres ke depan bagaimana usia produktif itu harus mempunyai SDM yang mumpuni.

“Di bidang kesehatan kita masih dalam angka stunting yang tinggi, begitu juga kemampuan pemenuhan gizi kita masih rendah, hal ini harus dilihat oleh capres nantinya, bagaimana mencetak kualitas anak bangsa dengan kualitas SDM yang baik,” tutur bakal calon anggota DPD RI ini.

Capres ke depan harus memiliki gagasan baru untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, tentu dengan melibatkan perempuan-perempuan, “Bagi perempuan tentu akan melihat capres ke depan yang memperjuangkan hak-hak perempuan, memberdayakan perempuan hingga ke desa-desa,” tegasnya.

Secara akademik kriteria pemimpin ada dua, menurut Ahli Tata Negara Profesor Dr H Muhammad Effendy, yakni kriteria yang bersifat permanen seperi kemampuan managerial, wawasan dan keilmuan, moralitas yang harus melekat.

Kedua, kriteria yang biasa disebut dengan kondisional, seperti pemimpin ketika kita merdeka pemimpin kita lahir dari kondisional, kita merindukan orang-orang seperti Soekarno tampil di kondisi itu karena bangsa kita didorong untuk mengangkat harkat dan martabat Indonesia dan Soekarno cocok dalam kondisi itu.

“Demokrasi kita akan baik kalau tingkat pendidikan di masyarakat mendukung, sementara secara faktual mayoritas masyarakat kita belum memiliki tingkat pendidikan yang cocok dengan standar demokrasi, sehingga mereka akan kesulitan untuk memahami kriteria capres yang baik,” ujarnya.

Kemudian budaya politik uang, hal ini tidak memungkinkan masyarakat bisa melihat figur capres yang akan menjadi pertimbangan utama, calon-calon pemimpin sudah berusaha untuk mengkampanyekan program mereka, tapi masyarakat kita tidak dibangun untuk menilai capres berdasarkan program yang mereka tawarkan.

Apapun program yang ditawarkan calon tidak pernah didengarkan masyarakat, sehingga kalau kita berbicara secara akademik visi-misi bagaimana capres itu kedepannya menghadapi dunia global, maka capres juga harus punya akses untuk interaksi global.

“Bangsa kita sedang berada dalam.belenggu kekuatan yang sulit dilawan, karena musuh kita memiliki tiga kekuatan yang tidak bisa dilawan, pertama mereka mempunyai uang, kedua power dan ketiga dia bisa melakukan total kontrol informasi,” tutupnya. (L186)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

BACA JUGA