LANGKAR.ID, Banjarmasin – Sidang perdana Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan terdakwa mantan Bupati Hulu Sungai Tengah (HST) Abdul Latif, digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Banjarmasin, Rabu (18/1/2023).
Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Jamser Simanjuntak, bersama dengan dua anggota lainnya sementara terdakwa hadir secara virtual dengan didampingi penasehat hukum Prof. DR. Otto Cornelis Kaligis, SH, MH.
Dalam pembacaan dakwaan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ikhsan Fernandi menuntut Abdul Latif dengan dua dakwaan kumulatif.
Pertama Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 12 B Juncto pasal 18 Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana telah diubah dengan Undang undang RI nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto pasal 64 Ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kedua, Tindak Pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 3 Undang Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Usai pembacaan dakwaan tersebut, Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk memberikan eksepsinya dan langsung dibacakan oleh Abdul Latif, dimana ia keberatan terhadap dakwaan yang dibacakan oleh JPU.
“Selama menjabat Bupati 20 bulan, tidak ada merugikan keuangan negara, tidak pernah jual jabatan, menjual perizinan, harus dihukum dengan tiga sprindik yang di split, sementara kasus mega korupsi yang merugikan negara triliunan dan berdampak besar bagi negara seperti kasus E-KTP, Lobster, Bansos, suap pajak Cuma diberikan satu sprindik,” katanya
Diceritakannya, pada saat Kepala Dinas datang ke kediaman, dan di sana juga hadir Ketua Kadin kemudian saya menanyakan bagaimana realisasi program APBD, Kadis menyampaikan bahwa Pokja ragu melaksanakan pelelangan karena takut tidak adanya perlindungan.
“Kebiasaan selama ini sebelum pelelangan kadis atau kabid selalu melakukan pendekatan dengan pihak penegak hukum, LSM, agar pelelangan berjalan lancar dan kondusif, baik dengan memberikan dana maupun dengan menjanjikan memberi proyek, sehingga banyak terjadinya lelang rekayasa,” terang Abdul Latif.
Disampaikan Abdul Latif, saat itu dirinya menyarankan ketua Kadin HST, Fauzan Rifani membantu dengan melakukan pendekatan dengan pihak terkait, yakni meminta sumbangan operasional dengan kontraktor yang sudah mendapatkan pekerjaan dan disetujui oleh Ketua Kadin HST kala itu.
Dana bantuan kontraktor dikumpulkan oleh Ketua Kadin dan dikeluarkan sendiri oleh Ketua Kadin, dibantu Kadis yang mengetahui jalur yang sudah dilakukan selama ini.
“Saya tidak pernah meminta atau mengambil dana dari sumbangan itu untuk kepentingan pribadi saya seperti membeli mobil, membeli tanah dan keperluan pribadi lainnya, malah sebelum ketua Kadin mendapatkan dana sumbangan, saya sering kasih dana talangan untuk keperluan komitmen Ketua Kadin dengan pihak terkait,” beber Abdul Latif.
Dirinya keberatan terhadap surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga dikarenakan sebagai tulang punggung keluarga dan masih menjalani masa hukuman atas kasus dugaan penerimaan suap selama tujuh tahun dengan uang pengganti subsider satu tahun dan denda subsider tiga bulan.
“Sementara sebelum penetapan tersangka kasus dugaan gratifikasi dan TPPU tanggal 16 Januari 2018 yang dituduhkan kepada saya, tidak ada satupun orang lain yang pernah diperiksa dalam perkara ini, sehingga saya tiba-tiba menjadi terdakwa, penyidik hanya berasumsi dari BAP perkara yang lain,” katanya.
Hak klarifikasi saya terhadap alat bukti kebenarannya tidak ditanggapi, malah yang lebih membingungkan dari sekian banyak penerima uang yang terdaftar dalam pengeluaran Kadin, tidak ada satupun yang dijadikan tersangka, lanjutnya. Diduga telah terjadi yurisprudensi hukum menyimpang dan sesat yang dilakukan oleh oknum penyidik KPK terhadap tindakan pemberian sanksi dengan pola perwakilan kasus gratifikasi
“Ini menguatkan dugaan semua bukan penegakan hukum, tetapi penghukuman dari order korporasi dan oknum pejabat tinggi yang bermoral bejat yang menjadi beking,” tegasnya.
Sementara itu, Prof. DR. Otto Cornelis Kaligis, SH, MH mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan penuntut umum, dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak teliti dan kabur.
“Penyitaan yang dilakukan terhadap aset dari Abdul Latif adalah aset yang dimiliki sebelum Terdakwa menjabat sebagai Bupati HST,” paparnya.
Menanggapi hal tersebut JPU KPK, Ikhsan Fernandi mengatakan, keberatan merupakan hak terdakwa dan minggu depan akan ditanggapi, berkaitan dengan dipisahnya perkara ini, pembuktian penyidikan pada waktu itu belum selesai.
“Gratifikasi sekitar 41,5 miliar lebih, didapat dari beberapa rekamannya di SKPD semasa jabatannya, TPPU aset-asetnya ada beberapa, seperti penyetoran uang, pembelian obligasi, rumah, mobil, motor,” katanya.
Sidang akan dilanjutkan minggu depan, Rabu 25 Januari 2023 dengan agenda tanggapan JPU KPK terkait eksepsi dari terdakwa. (L186)